Menu Atas

BankSyariah     BaselCommittee     PerangMataUang     Ekonomi     Kontak     About Us     Video    

Tuesday, November 30, 2010

Sejumlah risiko ekonomi hadang RI pada 2011

Ekonom mengingatkan peningkatan risiko perekonomian pada tahun depan seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih tinggi dibandingkan pencapaian tahun ini.

Anggito Abimanyu, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada, memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2011 akan mencapai 6,3% lebih tinggi dari tahun ini yang kemungkinan hanya 5,9%.

Namun, untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut dibutuhkan manajemen risiko yang juga lebih tinggi dibandingkan tahun ini.

“Pertumbuhan ekonomi tahun 2011 yang diprediksi akan lebih tinggi dari tahun 2010, di angka 5,9%, akan diikuti dengan risiko yang tinggi,"ujarnya, hari ini.

Pasalnya, kata Anggito, Indonesia berada di tengah kondisi alam yang rawan bencana a.l. berada di tengah-tengah 22 gunung api aktif. Manajemen risiko pada tahun depan, ujarnya, patut memperhitungkan asuransi keselamatan masyarakat yang berada di daerah-daerah rawan bencana tersebut.

“Risiko lainnya yang juga tinggi adalah kenaikan harga beras dan bahan pokok lainnya. Kenaikan itu merupakan akibat stok beras tahun ini lebih sedikit dari tahun lalu, pemerintah juga tidak dapat melakukan impor dari Vietnam karena di sana juga mengalami kelangkaan," ungkapnya.

Fenomena tersebut, ujar Anggito, bukan hal mudah untuk diatasi, tetapi dapat dijadikan suatu tantangan dan peluang.

Dia memperkirakan laju inflasi tahun depan tidak akan kurang dari 5%, tetapi belum mengurangi minat investor masuk jika suku bunga acuan Bank Indonesia dipertahankan di level 6,5%.

Dari sisi nilai tukar, Anggito mengatakan penguatannya pada saat ini masih terbilang kompetitif bagi para pelaku ekspor. Pasalnya, hal tersebut terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara kawasan Asia.

"Apresiasi nilai tukar rupiah di kisaran Rp8.900-Rp.9050 per dolar AS masih kompetitif bagi eksportir di tengah mata uang regional lain yang juga menguat," ujarnya.(luz)

http://www.bisnis.com/keuangan/ekonomi-makro/1id221766.html

BANK SYARIAH

ARTIKEL TENTANG PERBANKAN SYARIAH :

Roadmap Perbankan Syariah 2015-2019

Undang-Undang Perbankan Syariah No.21 Th 2008

Peraturan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) No.11/23/PBI/2009 

Outlook Perbankan Syariah 2012

Apa sih IB (ai bi)

Sekilas Bank Syariah

Sejarah Bank Syariah

Sekilas perbankan syariah di Indonesia

BI siap bentuk forum riset untuk Pengembangan Bank Syariah

Nilai Asset Perbankan Syariah

Komparasi Risiko Bank Syariah Versus Bank Konvensional

Menabung Plus Plus

Bank Syariah dan Sektor Riil

Perbankan Syariah Lebih Tahan krisis

Menghitung Bagi hasil Bank Syariah

Mengembangkan usaha dengan pembiayaan dari Bank Syariah

Agunan Pembiayaan

Ikhtisar UU No 21 Tentang Perbankan Syariah

iB (ai Bi) melaju dengan strategi baru

BI dan Pemerintah Miliki Pandangan Sama Tentang Holding Bank BUMN

Jika pemerintah bisa menyakinkan BI dari tujuan keluarnya SPP (single presence policy) dan bisa dipenuhi, maka kantor Kementerian BUMN bisa membentuk holding.

Jakarta--Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Muliaman D. Hadad mengatakan, pembentukan holding bank BUMN akan dapat selesai dalam waktu dekat.

Saat ini, katanya, Kementerian BUMN tengah membuat agenda pekerjaan holding.

"Setelah holding jadi, apapun nanti dia mau ngapain dan apa agendanya, dapat selesai dengan cermat. Jangan sekedar membentuk saja," kata Muliaman saat Infobanknews.com, sebelum memulai seminar, di Jakarta, pada 29 November 2010.

Namun, ia tidak bisa menjelaskan secara detail kapan pembentukan holding tersebut.

"Nanti kalau sudah ada kemajuan akan kita jelaskan lagi," katanya.

Muliaman menjelaskan, jika pemerintah bisa menyakinkan BI dari tujuan keluarnya SPP (single presence policy) dan bisa dipenuhi, maka kantor Kementerian BUMN bisa membentuk holding.

Sementara terkait lamanya proses pembentukan holding, Muliaman mengakui pembentukan holding ini tidak dapat diselesaikan secara asal, dan perlu dilakukan penelitian.

"Karena kita buat aturan ada yang ingin kita capai. Bukan asal saja. Kalau tujuannya bisa buat efektif, bisa dilakukan. Jadi, masih perlu diteliti lagi pelan-pelan, sebab ada aturan mainnya. Pokoknya Kementerian Negara BUMN bertindak sebagai Holding," tegasnya.

Muliaman juga menjelaskan, BI dan pemerintah (Menteri Negara BUMN) sudah memiliki kesamaan pandangan terkait pembentukkan holding.

"Sekarang bagaimana persoalan-persoalan perbankan BUMN bisa diselesakan. Paling tidak koordinasi strategi, kemudian pengembangan SDM harus bisa dilakukan dengan cara-cara lebih hemat. Jadi, tinggal di follow-up oleh kawan-kawan teknisnya saja," ujar Muliaman. (*)

http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detail&id=5570

Thursday, November 25, 2010

Komparasi Risiko Bank Syariah versus Bank Konvensional

Bisnis adalah suatu aktifitas yang selalu berhadapan dengan resiko dan return. Bank syari’ah dan bank konvensional adalah salah satu unit bisnis. Oleh karena itu, bank syari’ah dan bank konvensional juga menghadapi risiko yang ada dalam industri perbankan yaitu risiko pasar, kredit, likuiditas, operasional, hukum, reputasi, strategi dan ekuitas. Komponen risiko pasar dapat di kelompokkan sebagai risiko tingkat suku bunga, risiko nilai tukar dan risiko harga. Namun, karena karakteristik yang spesifik dari transaksi bank syari’ah yang kontrak transaksinya tidak didasarkan tingkat suku bunga, maka risiko perubahan tingkat suku bunga bukan merupakan komponen risiko pasar yang dihadapi bank syari’ah. Oleh karena itu artikel ini akan membahas perbandingan risiko pada bank syariah dengan bank konvensional.

Pada Bab II pasal 4 butir 1 PBI No. 5/8/PBI/2003 disebutkan bahwa risiko-risiko yang terdapat pada perbankan, antara lain :

a. Risiko Kredit (credit risk)

Adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak memenuhi kewajibannya. Pada bank umum, pembiayaan disebut pinjaman, sementara di bank syariah disebut pembiayaan, sedangkan untuk balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam persentase yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada bank syariah, tingkat balas jasa terukur oleh sistem bagi hasil dari usaha. Selain itu, persyaratan pengajuan kredit pada perbankan syariah lebih ketat dari perbankan konvensional sehingga risiko kredit dari perbankan syariah lebih kecil dari perbankan konvensional.

Oleh sebab itu pada sisi kredit, dalam aturan syariah, bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli murabahah.

Mekanisme seperti itu, akan mencegah kemungkinan dana kredit digunakan untuk transaksi spekulasi, atau untuk jual beli valas. Jika terjadi default, bank mudah mendapatkan dananya kembali karena ada aset yang nilainya jelas berupa sejumlah kredit yang dikucurkan. Dalam bank syariah, karakter nasabah (personal garansi) lebih dinomorsatukan, ketimbang cover guarantee berupa aset (Karim, 2003).

Dengan demikian debitor yang dinilai tidak cacat hukum dan kegiatan usahanya berjalan baik akan mendapat prioritas. Oleh sebab itu, risiko bank syariah sebetulnya lebih kecil dibanding bank konvensional. Bank syariah tidak akan mengalami negative spread, karena dari dana yang dikucurkan untuk pembiayaan akan diperoleh pendapatan, bukan bunga seperti di bank biasa.

b. Risiko Pasar

Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar antara lain adalah suku bunga dan nilai tukar. Pada perbankan syariah tidak terdapat risiko pasar dikarenakan perbankan syariah tidak melandaskan operasionalnya berdasar risiko pasar.

c. Risiko Likuiditas

Risiko antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. Bank memiliki dua sumber utama bagi likuiditasnya, yaitu aset dan liabilitas. Apabila bank menahan aset seperti surat-surat berharga yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan dananya, maka resiko likuiditasnya bisa lebih rendah. Sementara menahan aset dalam bentuk surat- surat berharga membatasi pendapatan, karena tidak dapat memperoleh tingkat penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan pembiayaan.

Faktor kuncinya adalah bank tidak dapat leluasa memaksimumkan pendapatan karena adanya desakan kebutuhan likuiditas. Oleh karena itu bank harus memperhatikan jumlah likuiditas yang tepat. Terlalu banyak likuiditas akan mengorbankan tingkat pendapatan dan terlalu sedikit akan berpotensi untuk meminjam dana dengan harga yang tidak dapat diketahui sebelumnya, yang akan berakibat meningkatnya biaya dan akhirnya menurunkan profitabilitas. (Zaenal Arifin, :66)

Pada bank syariah, dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana.

Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko.

d. Resiko Operasional (operational risk)

Menurut definisi Basle Committe, resiko operasional adalah resiko akibat dari kurangnya sistem informasi atau sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak diharapkan. Resiko ini lebih dekat dengan keasalahan manusiawi (human error), adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko operasional .

e. Risiko Hukum

Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau lemahnya perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat sahnya kontrak. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko hukum.

f. Risiko Reputasi

Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko reputasi.

g. Risiko Stratejik

Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko stratejik.

h. Risiko Kepatuhan

Risiko yang disebabkan bank tidak memenuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko kepatuhan.

Sudjendro/Pemerhati Perbankan

Tuesday, November 23, 2010

Ceramah Ekonomi oleh Dr. Darmin Nasution, Gubernur BI

Sambutan dan Ceramah Ekonomi
Dr. Darmin Nasution
Halal Bihalal Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)
5 November 2010
Yang saya hormati
Para Senior dan Sesepuh ISEI,
Pengurus Pusat ISEI,
Pengurus ISEI Cabang Seluruh Indonesia,
Para Anggota ISEI,
Bapak-Ibu undangan lainnya,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua,

Pada kesempatan ini mari bersama-sama kita panjatkan puji syukur
ke hadirat Allah SWT karena atas rahmatNya sajalah kita dapat berkumpul
di sini, berbagi cerita dan pengalaman, dalam acara Halal Bihalal Keluarga
Besar Ikatan Sarjana Ekoomi Indonesia (ISEI) tahun 1431 H. Walaupun
sudah berjarak beberapa waktu dari hari raya Iedul Fitri 1431 H, namun
semangat bersyukur kepada Tuhan memang sudah seharusnya tidak
mengenal waktu.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Rasa syukur juga patut kita ungkapkan apabila kita menelaah kinerja
perekonomian Indonesia akhir-akhir ini. Kita telah sama-sama mengikuti
bagaimana gejolak krisis global yang saat ini masih berlangsung telah

membuat banyak negara mengalami kontraksi yang cukup dalam. Di tengah
kondisi yang tidak menguntungkan tersebut, perekonomian Indonesia pada
tahun 2009 lalu masih dapat tumbuh 4.5%. Basis ekonomi kita yang lebih
banyak ditopang permintaan domestik, terutama konsumsi, ternyata lebih
berdaya tahan terhadap rambatan krisis global tersebut. Indonesia pun
disejajarkan dengan China dan India sebagai tiga negara yang masih
membukukan pertumbuhan positif sepanjang 2009.

Pada tahun 2010 ini Bank Indonesia memperkirakan perekonomian
kita akan tumbuh 6.1%, masih merupakan pencapaian yang cukup tinggi
dalam skala kawasan. Pada tahun 2011 dan selanjutnya, apabila didukung
oleh peningkatan investasi yang memadai, Bank Indonesia memprediksi
bahwa ekonomi domestik dapat terus tumbuh di atas 6.0%.

Sejalan dengan semakin menguatnya kegiatan ekonomi, laju inflasi
menunjukkan kecenderungan meningkat. Namun peningkatan inflasi dalam
beberapa bulan terakhir lebih diakibatkan dorongan kelompok bahan
makanan. Pemantauan terakhir menunjukkan kita masih memiliki harapan
bahwa inflasi akan berada dalam kisaran sasaran 5+1%.

Kekuatan ekonomi kita juga didukung oleh kinerja perdagangan yang
tetap solid. Neraca pembayaran pada tahun ini diperkirakan akan mencatat
surplus sebesar USD 27.4 miliar, sehingga akumulasi cadangan devisa akan
terus meningkat. Cadangan devisa kita per 28 Oktober telah mencapai USD
91.1 miliar.

Tumbuhnya harapan semakin membaiknya ekonomi juga dapat kita
lihat di pasar keuangan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus
meningkat dan telah mencapai 3.640 pada akhir Oktober lalu. Ini
merupakan level tertinggi dalam sejarah parsar saham di Indonesia.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Di tengah berbagai capaian positif perekonomian kita saat ini,
tantangan ke depan tidaklah ringan. Struktur industri menunjukkan
dinamika yang harus dicermati. Di satu sisi, pangsa industri berbasis
manufaktur tampak semakin mengecil, akibat industri berbasis sumber daya
alam yang semakin menonjol. Apabila dibiarkan, persoalan ini dapat
mengarah pada deindustrialisasi yang dapat berdampak pada menurunnya
nilai tambah industri nasional dan tergerusnya produktivitas perekonomian.
Disamping itu, ditengah-tengah persoalan pengangguran dan kemiskinan
yang masih dihadapi Indonesia, kehadiran industri padat karya yang luas
masih dibutuhkan.

Di sisi lain, industri manufaktur domestik kita masih kental dengan
muatan impor. Ini membuat pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan
dibarengi dengan naiknya impor secara cukup signifikan, yang berdampak
pada menurunnya surplus pada neraca transaksi berjalan (current account).
Apabila struktur industri kita yang bermuatan impor tinggi tersebut tidak
berubah, maka terdapat risiko kita akan mengalami defisit. Dalam kondisi
defisit, apabila sumber pembiayaan tetap mengandalkan arus modal masuk
jangka pendek yang memiliki volatilitas tinggi, seperti yang terjadi
sekarang, maka akan menimbulkan kerentanan. Kaitan struktur industri
dengan kerentanan neraca pembayaran masih merupakan persoalan yang
harus sama-sama kita kaji dan cari solusinya.

Dari sisi komposisi, neraca modal dan keuangan (capital and financial
account) kita memang masih kurang berimbang. Pada 2009, arus masuk
modal ke investasi portofolio kita sebesar USD 10,3 milyar, jauh lebih besar
dari investasi langsung jangka panjang (FDI) yang hanya sebesar USD 1.9
milyar. Bank Indonesia memproyeksikan bahwa di tahun 2010, kondisi akan
sedikit membaik, dengan investasi portofolio akan mencapai USD 15.5
milyar sementara FDI meningkat menjadi USD 9.4 milyar. Bila dilihat lebih
dalam, latar belakang masuknya FDI ke Indonesia ternyata cenderung
berorientasi pasar domestik ketimbang untuk ekspor. FDI yang masuk
tersebut juga membutuhkan impor tambahan sebagai komplemen modal.
Kondisi ini membuat FDI yang meningkat dapat membuat impor meningkat,
yang kembali dapat mengarah pada defisit transaksi berjalan dan
terganggunya keseimbangan eksternal.

Perekonomian kita yang cepat memanas di sisi neraca pembayaran
juga ternyata juga diikuti pada sisi internal. Kondisi infrastruktur yang masih
belum memadai, dikombinasikan dengan tantangan geografis yang kita
miliki, menjadikan kendala yang tampak semakin serius dalam produksi dan
distribusi. Kendala di sisi penawaran (supply side constraint) ini telah secara
konsisten membuat inflasi kita tetap lebih tinggi dari negara-negara
kawasan. Proyeksi terakhir Bank Indonesia menunjukkan inflasi inti sudah
kembali merangkak naik, ke arah 4.5% di 2010 dan 5.0% di 2011.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang diiiringi dengan potensi
peningkatan inflasi yang tinggi, utamanya dipacu dari sisi penawaran,
menunjukkan adanya persoalan pada keseimbangan internal.
Adanya potensi ketidakseimbangan internal dan ekternal, di balik
kisah sukses perekonomian Indonesia selama menghadapi krisis,
merupakan tantangan nyata bagi kita semua yang harus segera dijawab.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Lingkungan global yang sangat dinamis memang membuat
pengelolaan kebijakan ekonomi makro semakin kompleks. Ini karena
perekonomian kita tidak dapat menghindar dari dampak perubahan
konstelasi kebijakan ekonomi global paska krisis, khususnya kebijakan yang
ditempuh negara-negara maju.

Bagi beberapa negara maju, krisis global lalu memang cukup
berdampak destruktif, dimana sempat terjadi interaksi antar sektor
keuangan dan sektor riil tidak berjalan lagi sebagaimana mestinya.
Kondisi tersebut terkait dengan lingkaran permasalahan krisis yang
berjalan demikian cepat karena bekerjanya suatu mekanisme yang dikenal
sebagai financial accelerator, yaitu kondisi dimana sektor keuangan
mengamplifikasi apa yang terjadi di sektor riil sehingga berdampak lebih
ekstrem. Mekanisme ini tampak telah bekerja pada periode boom yang lalu
(awal 2000-an), maupun pada krisis saat ini. Sektor keuangan menjadi procyclical atau menyebabkan amplifikasi terhadap siklus ekonomi.

Financial accelerator ini berkerja sebagai berikut. Pada periode boom
atau positive shock, kenaikkan harga aset biasanya dibarengi dengan
bertambahnya modal bank dan berkurangnya leverage, yang mendorong
bank melakukan ekspansi. Kenaikkan harga aset juga memudahkan sektor
rumah tangga dan bisnis memperoleh pinjaman dari bank, yang pada
gilirannya memacu konsumsi dan investasi.

Sebaliknya, pada periode krisis atau negative shock, jatuhnya harga
aset menyebabkan modal bank merosot dan leverage bank naik. Karena
dalam masa krisis sangat sulit bagi bank meraih modal baru, bank
cenderung melikuidasi asset, sehingga membuat harga aset lebih merosot.
Dampak terhadap sektor riil dan ekonomi akan terasa lebih berat saat
negative shock tersebut menimpa bank-bank besar secara serentak, atau
terjadi efek sistemis dari neraca bank yang memburuk.

Dengan bekerjanya mekanisme financial accelerator tadi, dalam
kondisi krisis, kebijakan moneter yang konvensional menjadi sulit
diandalkan efektivitasnya. Di Amerika dan Jepang misalnya, suku bunga
yang mendekati nol persen pun belum mampu menstimulasi kegiatan
ekonomi. Tidak berjalannya transmisi kebijakan moneter melalui suku
bunga pada gilirannya mengharuskan bank sentral melalui berbagai
program non-konvensional, diantaranya quantitave easing (QE), yaitu
membeli instrumen keuangan secara langsung, dengan menggelontorkan
likuiditas ke pasar keuangan. Sebagai contoh pada 3 November kemarin
Amerika meluncurkan QE jilid II dimana diputuskan untuk membeli aset
sebesar USD 600 milyar.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Dalam skala global, kita juga melihat bagaimana pemulihan ekonomi
di berbagai negara berjalan dalam multispeed recovery, terutama ditandai
dengan semakin melebarnya disparitas pertumbuhan ekonomi antara
negara maju dan emerging market. Disparitas juga tampak dari sisi
kebijakan, misalnya Amerika yang terus melanjutkan ekspansi sementara
India dan Australia pada 2 November lalu menaikkan suku bunga kebijakan.
Momentum pemulihan ekonomi di banyak negara maju memang
terlihat melemah. Kondisi tersebut tergambar jelas dari masih tingginya
tingkat pengangguran, melemahnya kembali konsumsi rumah tangga yang
disertai dengan menguatnya ancaman deflasi di Amerika, Eropa, dan
Jepang. Di pihak lain, pemulihan ekonomi negara-negara emerging market
khususnya di Asia dan Amerika Latin melaju pesat, disertai dengan mulai
munculnya tekanan inflasi.

Dari uraian tadi, terlihat bahwa dari sisi arus modal memang terdapat
push factor, yaitu berlimpahnya likuiditas dan rendahnya suku bunga di
negara maju, yang pada saat bersamaan disertai pull factor, yaitu
membaiknya fundamental ekonomi, tingginya suku bunga, dan membaiknya
persepsi risiko ke emerging market. Kedua faktor tersebut secara
bersamaan telah, sedang menyebabkan derasnya aliran modal ke emerging
market, termasuk ke Indonesia.

Pada saat ini Indonesia memang menjadi magnet tujuan investasi
bagi kalangan pengelola modal portofolio internasional. Intensitas arus
masuk modal portfolio ke Indonesia dalam tiga bulan terakhir bahkan
semakin kuat karena para investor global tersebut mengantisipasi langkahlangkah
lanjutan kebijakan moneter di Amerika.
Terkait QE jilid II yang baru saja diumumkan, the Fed diperkirakan
akan mengaktifkan kembali program pembelian aset dalam skala besar
(large-scale asset purchases/LSAP). Program ini dipastikan akan semakin
menekan lagi suku bunga jangka panjang di AS, yang pada gilirannya
semakin memperderas arus modal ke negara emerging market.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Kita sama-sama menyaksikan bagaimana gelombang intervensi di
pasar valuta asing, untuk meredam tekanan apresiasi, telah menjadi menu
harian kebijakan taktis di sejumlah negara-negara emerging market
belakangan ini. Akibat fenomena yang sementara orang menyebut
currency-war ini, akumulasi cadangan devisa oleh negara emerging market
pun meningkat pesat.

Depresiasi dollar juga semakin terakselerasi, disamping oleh langkah
QE jilid II, juga oleh langkah sejumlah bank sentral emerging market yang
mereposisi akumulasi cadangan devisa mereka ke instrumen keuangan nondollar,termasuk instrumen negara emerging market lain.

Intervensi memang dapat membantu menahan tekanan apresiasi,
namun tidak dapat terus menerus dilakukan karena beban ongkos sterilisasi
yang cukup besar. Oleh karenanya, banyak negara emerging market mulai
memikirkan dengan serius berbagai kebijakan yang termasuk kelas
macroprudential. Bahkan sejumlah negara merespon derasnya arus modal
masuk dengan capital control, misalnya pemerintah Brazil yang
mengenakan pajak terhadap transaksi pihak asing di pasar obligasi.

Solusi atas lingkaran permasalahan arus modal global dan
pengelolaan kebijakan nilai tukar ini tentunya memerlukan koordinasi
multilateral, dan oleh karenanya saat ini terus menjadi tema sentral di
berbagai fora internasional, seperti di G-20, ASEAN, IMF, dan BIS.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Derasnya arus masuk modal global ke perekonomian kita membawa
manfaat, tetapi juga menimbulkan permasalahan yang kompleks. Masuknya
modal asing meningkatkan pasokan devisa di pasar keuangan domestik,
mendorong penguatan rupiah, dan menurunkan imbal hasil (yield) surat
utang negara (SUN). Rupiah yang menguat membantu menekan inflasi
melalui turunnya harga barang impor. Sementara itu, dengan turunnya yield
SUN juga menurunkan ongkos pembiayaan anggaran pemerintah.

Di sisi lain, arus modal masuk saat ini menimbulkan permasalahan
karena sebagian besar berjangka pendek, mudah berbalik arah, memicu
penggelembungan aset (asset bubble), dan berpotensi menekan nilai rupiah
menjauh dari nilai fundamentalnya (overshoothing). Selain itu, derasnya
arus modal saat ini dirasa sudah lebih besar dari kemampuan sektor riil dan
pasar keuangan kita untuk dapat menyerapnya. Dari segi kedalaman
maupun ketersediaan instrumen, pasar keuangan kita tampak belum siap
untuk menerima begitu derasnya arus masuk modal jangka pendek.
Kurang dalamnya pasar keuangan kita relatif terhadap besarnya
modal asing menjadikan sistem keuangan domestik rentan terhadap
perubahan mendadak sentimen investor global. Pada Mei lalu kita
menyaksikan bagaimana munculnya sentimen negatif berupa memuncaknya
kekhawatiran terhadap krisis ekonomi di Yunani telah memicu penarikan
dana asing dalam skala besar dan mendadak (large and sudden reversal)
dari perekonomian Indonesia yang menimbulkan tekanan kuat terhadap
Rupiah.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Dalam menyikapi derasnya arus masuk modal sekaligus memitigasi
potensi risiko yang dapat ditimbulkan apabila modal tersebut berbalik arah,
Bank Indonesia telah menempuh beberapa langkah kebijakan.
Dikeluarkannya kebijakan tersebut tidak lain adalah untuk menjaga
stabilitas makro dan mempertahankan kesinambungan pertumbuhan
perekonomian kita.

Sebagai first line of defence, Bank Indonesia tetap mengedepankan
pengelolan kebijakan moneter dan perbankan yang pruden yang dijalankan
secara konsisten. Ini diharapkan dapat semakin memperkuat kredibilitas
kebijakan sehingga turut menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
investasi untuk segala jenis investasi apapun.

Sementara itu dalam tataran operasional, Bank Indonesia telah
mengambil langkah-langkah dalam bentuk bauran kebijakan (policy mix),
yaitu dengan:

1) Mengakomodasi nilai tukar yang fleksibel yaitu membiarkan Rupiah
mengalami apresiasi, namun juga tetap menjaga agar tidak
overshooting dan tidak terlalu fluktuatif, yaitu melalui intervensi
guna memelihara stabilitas ekonomi makro, stabilitas keuangan,
dan kesinambungan neraca transaksi berjalan.

2) Memupuk cadangan devisa, yang sangat diperlukan sebagai upaya
untuk memperkuat perisai (sebagai insurance) ketika menghadapi
pembalikan modal.

3) Mengambil sejumlah kebijakan macroprudential secara selektif,
guna mengelola arus modal yang cenderung fluktuatif.

Perlu saya tekankan di sini bahwa walaupun instrumen kebijakan
konvensional seperti intervensi di pasar valuta asing sejauh ini cukup
efektif, kita tetap menghadapi kompleksitas dalam pengelolaan kebijakan
moneter. Ekspansi likuiditas sebagai dampak langsung intervensi di pasar
valuta asing perlu diserap kembali melalui operasi moneter agar tidak
memicu inflasi; ini menyebabkan outstanding SBI terus meningkat.
Oleh karena itu, menyadari semakin kompleknya permasalahan yang
akan dihadapi ke depan, Bank Indonesia juga menempuh langkah nonkonvensional
dalam bentuk kebijakan macroprudential. Pada 16 Juni lalu,telah dikeluarkan ketentuan kewajiban bagi pembeli SBI untuk menahan
kepemilikannya selama satu bulan baik di pasar primer maupun sekunder,
yang berlaku baik bagi pelaku domestik maupun asing. Kebijakan tersebut
cukup efektif dalam mencegah terjadinya pembalikan modal dalam skala
besar dan mendadak, karena investor tidak dapat lagi mencairkan SBI
setiap saat. Kita menyaksikan akhir-akhir ini nilai tukar rupiah dapat terjaga
dengan stabil.

Bank Indonesia juga melengkapi instrumen pengelolaan likuiditas
dengan memperkenalkan Term Deposit (TD) Rupiah yang tidak dapat
diperdagangkan (non-transfarable). Ini akan semakin mempersempit
peluang pihak asing dalam mengakumulasi SBI.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Banyak kita mendengar pandangan perlunya bagi kita mengambil
kebijakan capital control. Namun, saya melihat sejauh ini beberapa langkah
kebijakan yang telah kita ambil telah cukup efektif. Meski demikian, tentu
saja ruang untuk opsi-opsi kebijakan tambahan lainnya tetap terbuka.
Dalam tataran diskusi internasional, kebijakan capital control tidak lagi
diharamkan apabila seluruh opsi kebijakan makro konvensional yang
tersedia dirasa tidak lagi memadai untuk memitigasi dampak buruk dari lalu
lintas modal yang ekstrem.

Capital control memiliki alasan kuat untuk menjadi bagian dari
perangkat kebijakan dalam mengelola arus masuk modal apabila tekanan
inflasi meningkat, apabila kecukupan cadangan devisa sudah lebih dari
optimal, apabila nilai mata uang domestik overvalued, dan apabila arus
modal yang masuk mayoritas bersifat sementara (transitory).

Melihat kondisi sekarang, memang semakin banyak otoritas di
sejumlah negara emerging market yang mulai mempertimbangkan untuk
menrancang dan menerapkan kebijakan capital control namun secara
specifik dan tepat sasaran (targeted). Agar kebijakan capital control
tersebut efektif maka sangat penting untuk dapat menbedakan antara
sumber dan jenis aliran modal, mempertimbangkan secara hati-hati pilihan
instrumen yang akan digunakan, memperkuat komunikasi dan kapasitas
institusional, serta merancang mekanisme entry/exit dan penyesuaian
terhadap instrumen yang telah ditetapkan.

Secara umum, instrumen capital control yang memerlukan perubahan
minimal dari sistem yang sudah tersedia akan lebih mudah disesuaikan,
dikomunikasikan, dan diimplementasikan. Namun, instrumen capital control
yang memerlukan perubahan mendasar dari sistem yang sudah ada dapat
menimbulkan dampak psikologis yang lebih besar dan mungkin risiko gagal.
Singkatnya, capital control dapat saya ibaratkan sebagai pedang
bermata dua yang sebaiknya disimpan sampai kondisi darurat sekali terjadi.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Sebelum saya akhiri sambutan saya, ada satu isu kebijakan lain yang
baiknya kita kaji secara serius dan segera, dalam menyikapi derasnya arus
modal masuk ini, yaitu bagaimana kita bisa meraup manfaat sebesarsebesarnya
dari arus modal masuk tersebut guna mendorong pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan. Dengan kata lain, persoalan fundamental yang
perlu kita jawab bersama adalah bagaimana kita mampu memanfaatkan
aliran modal ini ke jangka waktu yang lebih panjang.

Terdapat sejumlah langkah yang dapat kita tempuh. Pertama, kita
seyogyanya mampu mendorong pemanfaatan aliran modal tersebut untuk
pembiayaan bagi perusahaan dan pendalaman pasar keuangan domestik.
Kemudahan-kemudahan dan stimulus di pasar modal dapat diberikan baik
untuk mendorong penerbitan saham (initial/secondary public offering)
maupun obligasi (bond issuance) bagi korporasi. Bahkan besarnya minat
investasi dari luar negeri tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk
mendukung upaya-upaya untuk penerbitan saham dan obligasi perusahaanperusahaan BUMN kita.

Kedua, yang juga sangat penting dan mendesak, kita sebaiknya
mampu mendorong perbaikan iklim investasi dan pembangunan
infrastruktur dengan memanfaatkan peluang dari besarnya minat investasi
asing tersebut. Diskusi tentang hal ini sudah sama-sama kita ikuti dan
berbagai rekomendasi kebijakan juga sudah disampaikan dan dirumuskan.
Kini tinggal bagaimana kita secara kokoh dan konsisten mengimplementasikannya.

Mendorong investasi sangatlah penting untuk meningkatkan kapasitas
perekonomian. Memacu pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi dengan
peningkatan kapasitas produksi hanya akan menghasilkan tekanan inflasi
yang utamanya muncul akibat keterbatasan sisi penawaran. Ke depan,
Insya Allah, dengan fundamental ekonomi kita yang semakin baik, minat
asing untuk berinvestasi di Indonesia akan sangat besar. Apalagi, Indonesia
memiliki peluang untuk memasuki peringkat investment grade tahun depan.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Demikian pokok-pokok pemikiran dalam menyikapi besarnya arus
modal masuk dari luar negeri dewasa ini. Kita harus mampu memanfaatkan
aliran modal tersebut untuk kepentingan pembangunan ekonomi
berkelanjutan. Intinya kita memang harus mampu menjaga stabilitas
ekonomi makro ditengah keterbukaan ekonomi kita. Ketiadaan kesalahan
kebijakan makro tidak menjamin kita tetap aman dari dampak gejolak luar.
Akhir kata, semoga Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang meridhoi
kegiatan kita hari ini dan senantiasa melimpahkan bimbingan,
petunjuk, dan rahmat-Nya kepada kita sekalian. Terima kasih.

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Dr. Darmin Nasution

BI Beri Relaksasi Kredit Perbankan

JAKARTA, KOMPAS.com - Untuk meringankan pembayaran kredit nasabah usaha kecil dan menengah (UKM) korban bencana Gunung Merapi, banjir Teluk Wondama dan tsunami Kepulauan Mentawai, Bank Indonesia (BI) akan memberikan relaksasi aturan perbankan. Khusus, pemberian kelonggaran pemenuhan kewajiban pembayaran kredit perbankan sehingga memberikan kesempatan UKM memulihkan usahanya.

Terkait itu, Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) juga be rkomitmen memberikan keringanan bagi nasabah UKM untuk memenuhi pembayaran kreditnya. Penegasan BI dan Perbarindo itu disampaikan di hadapan Wakil Presiden Boediono saat bertemu di Istana Wapres, Jakarta, Selasa (23/11/2010).

Hal itu diungkapkan Deputi Gubernur BI Budi Rohadi dan Ketua Umum Perbarindo Joko Suyanto, dalam keterangan pers, seusai pertemuan. BI sendiri memberikan relaksasi pada bank. "Relaksasi kredit perbankan yang dimaksud ada dua macam, yaitu relaksasi terhadap bank dan relaksasi terhadap nasabah. Relaksasi terhadap nasabah tergantung pemilik bank, apakah ia tetap disuruh membayar, dibebaskan sebagian, atau dilakukan penjadwalan ulang pembayaran kreditnya (rescheduling)," ujar Budi.

Menurut Budi, dalam kredit ada tiga pilar untuk menentukan kelancaran suatu kredit atau kolektabilitas. "Namun, saat ini BI hanya melihat satu pilar saja, yaitu pilar kelancaran membayar kewajiban pokok dan bunga. Dua pilar lainnya adalah langsung pemberian penjadwalan kembali dan pemberian kredit kembali," tambah Budi.

Joko menambahkan, Perbarindo berkomitmen mengendurkan aturan pembayaran kredit bagi korban bencana tersebut. "Dengan adanya relaksasi ini, diharapkan pemulihan ekonomi di wilayah bencana bisa segera pulih. Setelah pulih baru akan ada pencicilan kr edit kembali," tandas Joko.

Namun, saat ditanya berapa jumlah UKM dan nilai kredit yang akan dilonggarkan pembayarannya, Joko mengatakan, Perbarindo masih melakukan konsolidasi mengenai jumlah nasabah yang terkena bencana. " Yang jelas, kami telah meminta data kepada daerah tentang jumlah nasabah yang terkena dampak langsung," tambahnya.

Tak paksa jual sapi

Di tempat yang sama, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono meluruskan bahwa pemerintah tidak memaksa warga untuk menjual seluruh sapi miliknya. "Soal ternak itu lebih diutamakan bagi masyarakat yang memang ingin menjualnya saja. Kalau tidak dijual, ya pemerintah tidak membeli," katanya.

Menurut Agung, jumlah sapi yang akan dijual ke pemerintah akibat letusan Gunung Merapi mencapai 3.800 ekor. Sapi ini berasal dari empat kabupaten korban erupsi Gunung Merapi, yaitu Magelang, Klaten, Sleman dan Boyolali.

Sebelumnya, Menteri Pertanian Suswono menyatakan sebanyak 10.361 sapi milik pengungsi Merapi telah didaftar dan siap jual ke pemer intah. Pemerintah sudah menyiapkan anggaran Rp 100 miliar untuk membeli sapi tersebut. Adapun harga penjualan sapi itu antara Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per ekor.

Membedah proses IPO dan rights issue BUMN

Di tengah ribut-ribut tentang proses go public PT Krakatau Steel Tbk, tulisan ini mencoba melihat proses privatisasi, IPO (intial public offering) dan rights issue, tapi dengan mengesampingkan dimensi politiknya.

Walaupun pada kenyataannya kebijakan publik pasti tidak terlepas dari politik, masyarakat awam juga berhak mendapat penjelasan tentang proses privatisasi tanpa mereka harus dibingungkan dengan hiruk pikuk di sisi politiknya.

Marilah kita lihat apakah proses IPO dan rights issue badan usaha milik negara (BUMN) perlu diperbaiki atau tidak.

Apakah privatisasi dibutuhkan oleh negara ini? Jawabannya iya karena pemerintah tidak menyediakan dana APBN bagi BUMN yang memerlukan tambahan modal untuk ekspansi usaha.

Tambahan modal juga dibutuhkan oleh bank. Perbankan terikat peraturan permodalan capital adequacy ratio (CAR) yang mana peraturan Basel Committee semakin lama semakin ketat, apalagi Indonesia menjadi anggota G-20.

Setiap penambahan kredit cenderung akan menurunkan CAR. Kalau pada era 1990-an suatu bank dengan CAR 8% dianggap cukup maka sekarang setelah krisis global 2008, bank-bank besar cenderung ingin memiliki CAR di atas 12%.

Maka dari itu tidak heran jika bank BUMN seperti BNI, Bank Mandiri, serta bank swasta seperti Bukopin, BTPN, dan CIMB Niaga, ingin meningkatkan CAR-nya agar bisa tetap di atas 12%. Pada 2011-2012, BRI dan BTN kemungkinan juga perlu melakukan tambahan modal.

Bagi perusahaan yang baru pertama kali masuk bursa, maka disebut melakukan IPO seperti dilakukan oleh PT Krakatau Steel Tbk.

Sedangkan bagi perusahaan yang sudah tercatat di bursa efek seperti BNI dan Bank Mandiri maka penambahan modal itu disebut rights issue yaitu menawarkan tambahan saham kepada pemilik lama.

Apabila pemilik lama tidak berminat maka haknya (rights) akan dijual kepada investor yang berminat. Inilah yang akan terjadi nanti pada saat BNI dan Bank Mandiri melakukan rights issue yaitu porsi rights pemerintah akan ditawarkan kepada investor yang berminat, karena pemerintah tidak menyediakan APBN buat tambahan modal di BNI dan Bank Mandiri.

Proses dimulai dari persetujuan oleh komite privatisasi di pemerintah dan DPR. Setelah mendapat persetujuan DPR maka proses pengurusan di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dimulai sambil proses penjajakan minat oleh perusahaan sekuritas yang bertindak sebagai penjamin emisi (underwriter) dan agen penjual.

Penjajakan minat ini dilakukan oleh analis dan tenaga penjual perusahaan sekuritas kepada investor institusi di dalam negeri dan di luar negeri tanpa dihadiri oleh emiten, yaitu dalam rangka mendapat berapa kira-kira rentang harga bawah dan atas pada public expose.

Karena para investor institusi seperti reksa dana, asuransi, dana pensiun sudah mempunyai pengetahuan luas tentang valuasi berbagai perusahaan maka pendapat para investor tersebut harus diperhatikan.

Rentang harga IPO Krakatau Steel Rp800 hingga Rp1.150 dan rights issue BNI Rp2.300 hingga Rp3.700 sudah melalui proses tersebut.

Investor pasti ingin dapat untung besar sehingga pihak underwriter dan pemilik (pemerintah) juga harus jeli melihat kondisi pasar apakah sedang bullish atau sedang bearish agar rentang harga yang ditawarkan pada saat public expose tidak terlalu murah tapi juga tidak terlalu mahal.

Metode valuasi yang dipakai bukan hanya price earning ratio (PER) yang sering disebut-sebut oleh beberapa politikus. Berbagai metode dipakai, bisa metode PER, PBV (price book value), discounted cashflow, EV/Ebitda, dsb. Bisa saja suatu saham terlihat murah dari sisi PER tapi mahal dari sisi PBV, EV/Ebitda, dan discounted cashflow.

Setelah public expose maka emiten, pemilik (pemerintah), underwriter serta agen penjual melakukan roadshow di dalam negeri dan luar negeri menawarkan saham.

Biasanya ini berlangsung sekitar 7 hari sampai dengan 12 hari. Inilah periode book building untuk fixed allocation yaitu para investor utama akan menaruh minat atau tidak, di harga berapa, dan berapa banyak lembar saham.

Pada hari terakhir book building dilihat berapa banyak permintaan yang masuk dan di harga berapa. Apakah permintaan undersubscribe atau oversubscribe. Jika pasar bullish maka berapa kali oversubscribe-nya serta bagaimana kualitas investornya ini pun harus dievaluasi.

Mengapa investor harus diberi untung? karena jika investor tidak melihat prospek keuntungan maka mereka tidak akan mau menaruh modal membiayai ekspansi BUMN yang bersangkutan. Jangan lupa bahwa investor seperti Jamsostek, Taspen, dana pensiun, dan reksa dana, mengelola uang masyarakat Indonesia.

Berapakah kenaikan harga yang wajar? mohon maaf, tidak ada rumusnya. Ini tergantung dari kondisi pasar, sedang bearish atau bullish.

Di sinilah diperlukan strategi, yaitu kemampuan penjamin emisi dan pemerintah membaca pasar, berapa harga yang pantas, yaitu memberi untung kepada investor tetapi juga tidak merugikan emiten dan pemilik.

Stabilitas harga setelah IPO juga penting, jangan sampai harga naik signifikan di hari pertama tetapi kemudian turun drastis jika ternyata laporan kinerja keuangan dipublikasi 3 bulan kemudian hasilnya mengecewakan.

Agar stabilitas harga tercapai maka investor di IPO biasanya dipilih lebih banyak investor institusi. Terlalu banyak investor ritel di pasar perdana sering kali menimbulkan volatilitas yang tinggi di pasar sekunder.

Bukan ilmu pasti

Namun, perlu diingat bahwa prediksi ini semua bukan ilmu pasti karena dalam situasi pasar bullish maka investor ritel malahan akan membantu harga naik lebih tinggi daripada perkiraan.

Biasanya kenaikan yang diharapkan investor di hari pertama adalah 10% sampai dengan 25%. Tapi bukan hal yang luar biasa bagi suatu IPO kenaikan harga di hari pertama dan kedua mencapai 50% bahkan 80% terutama untuk IPO yang oversubscribe berkali-kali lipat dan kondisi pasar sedang sangat bullish.

Harga Krakatau Steel yang naik dari Rp850 ke Rp1.290, maka saat ini valuasinya sudah tidak murah, yaitu mencapai PER 15,7 dan EV/Ebitda 8,7 memakai proyeksi tahun 2011.

Bandingkan dengan Posco Korea yang hanya PER 7,8 dan EV/Ebitda 4,6. Tapi dalam hal ini pemerintah tidak dirugikan karena sekarang 80% saham pemerintah di KS nilainya juga naik 52%.

Bagaimana alokasi saham yang adil? Pada saat pasar sedang bullish sudah pasti banyak investor ingin mendapat alokasi pada periode fixed allocation.

Masa fixed allocation diperlukan karena jika penawaran saham dalam jumlah besar diserahkan kepada masa pool allocation maka risiko penawaran saham tidak terserap menjadi besar sekali karena pool allocation diperuntukkan bagi investor ritel yang lebih sulit diprediksi minatnya dibandingkan investor institusi.

Tapi prinsip tata kelola yang baik adalah para pihak terafiliasi dilarang ikut memesan saham pada fixed allocation. Para pihak terafiliasi adalah pengurus emiten, para pegawai profesi penunjang, dan pengurus pemilik.

Dalam hal privatisasi maka definisi pemilik tentunya harus mencakup para pejabat dan politisi yang mempunyai wewenang memutus privatisasi. Di sinilah mungkin aturan perlu dipertegas.
# Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

Oleh Mirza Adityaswara
Anggota Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia

IHSG Melorot Hampir 64 Poin

JAKARTA, KOMPAS.com - Mayoritas saham-saham pada perdagangan Bursa Efek Indonesia Selasa (23/11/2010) terpuruk di zona merah. Indeks Harga Saham Gabungan pun melorot di bawah 3.700.

IHSG ditutup turun tajam 1,68 persen atau 63,93 poin pada 3.678,194. Sektor perbankan dan perkebunan memimpin keterpurukan indeks hari ini.

Sementara indeks Kompas100 melemah 1,78 persen, kemudian indeks LQ45 merosot 2,03 persen, serta Jakarta Islamic Index terkoreksi 1,73 persen.

Sebanyak 166 saham turun mendominasi perdagangan hari ini, dibandingkan 53 saham naik dan 80 saham stagnan. Adapun nilai transaksi mencapai Rp 5,443 triliun dari 110.648 kali transaksi dengan volume 7,533 miliar saham.

Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan pada perdagangan Bursa Efek Indonesia hari ini (23/11/2010) diperkirakan masih akan fluktuatif.

"Hari ini kami perkirakan indeks masih akan bergerak fluktuatif. Tekanan jual kami perkirakan akan mulai membayangi pergerakan indeks," sebut analis riset Panin Sekuritas, Purwoko Sartono.

Kemarin, IHSG bergerak menguat didukung oleh saham semen, infrastruktur di tengah melemahnya saham pertambangan dan konsumer. "Indeks terlihat bergerak volatile dan sempat berada di teritori negatif sebelum akhirnya menguat pada sesi 2," tambah dia.

Untuk hari ini, saham semen, bank, infrastruktur menurutnya bisa menjadi pilihan untuk trading. Adapun kisaran support-resistance adalah 3.725-3.772.


PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) akhirnya menetapkan harga rights issue saham baru seri C di level Rp3.100 per saham.

Dalam prospektus yang dipublikasikan hari ini disebutkan dengan harga Rp3.100/saham, BNI akan meraup dana segar Rp10,45 triliun dari rights issue. Harga tersebut lebih rendah dari penutupan perdagangan saham bank publik itu kemarin pada level Rp3.850.

BNI akan menggunakan 80% dari rights issue tersebut untuk menopang penyaluran kredit korporasi, usaha menengah, usaha kecil dan konsumer.

Sebanyak 15% dana itu akan digunakan untuk mengembangkan infrastruktur pada teknologi informasi, outlet, dan ATM.

Selebihnya sebanyak 5% akan digunakan untuk pengembangan anak perusahaan yaitu BNI Life, BNI Syariah, BNI Securities, dan BNI Multifinance.

BNI menerbitkan 3,37 miliar saham baru seri C pada harga Rp3.100 per saham. Setiap pemegang 500.000 saham lama seri C mempunyai 110.473 hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD).

Setiap satu HMETD memberikan hak kepada pemegangnya untuk membeli satu saham baru seri C yang akan diterbitkan oleh BNI.

Dalam rights issue III itu, Bahana Securities menjadi pembeli siaga saham baru seri C yan bukan merupakan porsi pemerintah Indonesia sebanyak-banyaknya 902,51 juta saham.

Setelah rights issue, pemerintah Indonesia masih menguasai 60% saham BNI, selebihnya dimiliki oleh investor publik.

Pemerintah Indonesia menyatakan tidak akan melaksanakan seluruh HMETD dalam rights issue III sebanyak 2,47 miliar HMETD.

Berdasarkan perjanjian pembelian yang diteken pada 11 November antara Kementerian BUMN dan Bahana Securities disebutkan HMETD milik pemerintah Indonesia akan dijual kepada Bahana Securities dan selajutnya akan menawarkan dan menjual saham hasil pelaksanaan HMETD kepada investor asing dan lokal. (htr)

http://bisniskeuangan.kompas.com/
http://www.bisnis.com/bursa/emiten/1id220815.html

Thursday, November 11, 2010

Pertemuan G20 diwarnai ketegangan mata uang

Sistem keuangan dan perekonomian global akan menjadi agenda dalam pertemuan dua hari G20 di ibukota Korea Selatan, Seoul.

Namun ada kekhawatiran kalau pertemuan puncak akan menjadi ajang perdebatan antara Cina dan Amerika Serikat dalam hal yang disebut 'perang mata uang' dan ketimpangan perdagangan.

Washington menuduh Cina memanipulasi mata uang untuk mendorong ekspor Cina, yang menyebabkan Cina mampu menghimpun cadangan devisa asing.

Namun ada yang berbendapat kebijakan ekonomi Amerika -khususnya dalam menciptakan uang baru demi penurunan secara kuantitatif atau QE- juga bisa dilihat sebagai manipulasi mata uang.

Kepada BBC, Presiden Bank Dunia, Robert Zoellick, mengatakan jelas ada ketegangan dalam hal mata uang.

"Orang harus hati-hati dengan ketegangan ini karena anda tidak ingin tergelincir menjadi proteksionisme."

Dia menambahkan upaya Amerika Serikat mengangkat isu tentang Cina memang berguna.
Namun Zoellick menambahkan rencana lima tahun Cina untuk pembangunan ekonomi yang akan terfokus pada permintaan dalam negeri akan menjadi perubahan penting.

Kritik atas AS

Sementara itu dalam konferensi persnya, Menteri Keuangan Brasil, Guido Mantega, mengkritik program QE yang ditempuh Bank Sentral AS.

"Masalahnya dengan memasukkan tambahan US$600 miliar ke perekonomian AS adalah uang itu tidak akan mengalir untuk produksi, tidak akan menciptakan lapangan kerja dan juga tidak akan mendorong konsumsi domestik."

"Dengan lebih banyak uang di pasar, investor akan mengambil keuntungan dari tingkat bunga yang tinggi di tempat lain dan menaruh uang ke bursa saham atau berinvestasi di komoditi, sehingga meningkatkan harga dan menyebabkan inflasi di negara-negara seperti kami," kata Mantega.

Di balik bayang-bayang tuduhan menurunkan nilai dollar sebagai jalan menuju kesejahteraan, Presiden Barack Obama akan melakukan perundingan langsung terpisah dengan dua pengkritik kebijakan ekonomi AS, Presiden Cina, Hu Jintao, dan Kanselir Jerman, Angela Merkel.

Presiden Obama mengatakan Amerika Serikat tidak bisa sendirian memulihkan pertumbuhan namun mengakui negaranya harus berubah.

Namun dia membela kebijakan AS sebagai upaya untuk menghentikan menurunnya kegiatan perekonomian akibat krisis yang paling dalam yang pernah dialami dalam beberapa generasi belakangan.

Dan dia kembali menyerukan agar negara-negara tidak mengandalkan ekspor sebagai jalan ke luar dari masalah ekonomi.