Menu Atas

BankSyariah     BaselCommittee     PerangMataUang     Ekonomi     Kontak     About Us     Video    

Sunday, December 5, 2010

Bank Syariah dan Sektor Riil

Pada fungsi utamanya sebagai lembaga intermediasi, bank berperan sebagai penghubung antara surplus unit dengan deficit unit dalam sebuah perekonomian. Dalam memainkan fungsi ini, terdapat perbedaan mendasar antara konsep bank konvensional dan bank syariah, sehingga kita perlu memahami secara benar landasan filosofis bank syariah, yang membedakannya secara prinsipil dengan bank konvensional. Banyak kritik yang dialamatkan kepada bank syariah, yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara bank syariah dengan bank konvensional dalam praktiknya. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa bertransaksi dengan bank syariah cenderung "lebih mahal" bila dibandingkan dengan bank konvensional. Boleh jadi, munculnya opini semacam itu akibat kesenjangan informasi yang diterima oleh masyarakat. Untuk itu, perlu diperjelas lagi prinsip dasar dalam praktik bank syariah.

Sesungguhnya, bank syariah adalah bank yang beroperasi atas dasar prinsip "risk-profit sharing". Prinsip ini selaras dengan klausul syariah yang menyatakan bahwa, "laa ribha liman laa kasba" (tidak ada keuntungan tanpa risiko). Artinya, profit dan risiko memiliki grafik yang berbanding lurus. Menurut Irfan Syauqi Beik (Dosen Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB), semakin besar risiko, akan semakin besar pula tingkat keuntungan (kerugian) yang akan didapat. Sehingga, bank syariah akan cenderung "lebih berisiko" jika dibandingkan dengan bank konvensional, yang cenderung "lebih pemalas." Bagi bank konvensional, yang terpenting adalah mendapatkan keuntungan dari selisih antara persentase bunga yang dibebankan pada pengusaha/investor dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah.

Sebagai manifestasi dari prinsip ini, maka pola pembiayaan pada bank syariah haruslah didominasi oleh pola mudarabah dan musyarakah, bukan oleh pola murabahah yang saat ini masih menjadi primadona. Murabahah merupakan fixed return mode yang mirip (meskipun tidak sama) dengan konsep bunga pada bank konvensional. Seharusnya murabahah adalah skema pembiayaan yang menjadi pelengkap skema mudarabah dan musyarakah, dan bertugas untuk meng-cover apa yang tidak bisa dijangkau oleh mudarabah dan musyarakah.

Masih menurut Irfan, kehadiran bank syariah seharusnya memberikan dampak yang luar biasa terhadap sektor riil. Hal ini dikarenakan pola mudarabah dan musyarakah adalah pola investasi langsung pada sektor riil. Return pada sektor keuangan (bagi hasil), dalam prinsip ajaran Islam sangat ditentukan oleh sektor riil. Berbeda dengan konsep konvensional, di mana return pada sektor riil ditentukan oleh sektor keuangan.

Deputi Gubernur BI, Maulana Ibrahim, mengatakan, hingga saat ini, wujud dukungan perbankan syariah terhadap sektor riil di Indonesia sangatlah nyata, terutama untuk sektor usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM) yang porsi pembiayaannya di seluruh Indonesia mencapai lebih dari 90 persen.

Investasi inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh bangsa kita, agar angka pengangguran dan tingkat kemiskinan dapat direduksi. Oleh karena itu, BI harus mendorong regulasi yang menunjang iklim investasi berbasiskan skema mudarabah dan musyarakah, sekaligus mengantisipasi kemungkinan terjadinya kredit macet. Hal ini disebabkan oleh besarnya risiko yang akan dihadapi oleh pihak bank syariah.

Meski demikian, kemungkinan terjadinya kredit fiktif yang selama ini kerap terjadi pada bank konvensional, dapat diminimalisir. Ini dikarenakan persyaratan ketat yang diatur oleh syariat Islam pada pelaksanaan kedua skema pembiayaan tersebut, di mana keduanya bukan semata-mata paper-based financing, melainkan asset and production based financing dengan kejujuran, transparansi, dan keterbukaan sebagai landasan pokoknya. Dan ini diperkuat pula oleh peran depositor di dalam mengontrol jalannya bank syariah, karena dalam konsep bank syariah, mereka dianggap dan diperlakukan sebagai bagian dari pemilik bank.

Wallahu'alam.

Sudjendro/Pemerhati Perbankan

Sejarah Bank Syariah

Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.

Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.

Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam.

Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.

Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero), Bank Rakyat Indonesia (Persero)dan Bank swasta nasional: Bank Tabungan Pensiunan Nasional (Tbk).

Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. [sunting] Prinsip perbankan syariah
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.

Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain :

• Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.

• Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.

• Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.

• Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.

• Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.

Perkembangan terakhir Perbankan Syariah di Indonesia diatur berdasarkan Undang-Undang RI No.21. Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah