Menu Atas

BankSyariah     BaselCommittee     PerangMataUang     Ekonomi     Kontak     About Us     Video    

Thursday, December 15, 2011

Pesta Bankir Belum Usai

Oleh Herry Gunawan | Newsroom Blog

Sungguh menyedihkan pernyataan Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution, yang disampaikannya kemarin. Perbankan kita, kata dia, memiliki keseimbangan semu lantaran antara tingkat keuntungan dan kehati-hatian yang tinggi dengan tingkat efisiensi tidak tersambung.

Untungnya besar, tingkat hati-hati yang di antaranya ditunjukan melalui rasio kecukupan modal cukup tinggi, tapi nilai efisiensi masih merah. Inilah yang disebut Darmin sebagai keseimbangan semu.

Pernyataan itu menyedihkan, karena jika melihat data Bank Indonesia, terlihat bahwa perbankan memang tidak berniat meningkatkan efisiensi. Dan hal ini diketahui oleh bank sentral yang hingga kini masih menjadi regulator sekaligus pengawas perbankan.

Pada tahun 2005 misalnya, data Bank Indonesia menyebutkan, pendapatan operasional yang habis digunakan untuk membiayai kegiatan operasional mencapai 89,5 persen. Tahun ini di bulan September, besarannya masih 87,14 persen. Rasio ini biasa disebut dengan rasio BOPO atau rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Betapa borosnya perbankan kita.

Tak heran jika untuk ukuran kawasan negara-negara di Asia tenggara, perbankan kita bisa dipastikan juara. Menang dalam ketidakefisienan. Sebab pesaingnya di Asia Tenggara bertahan di sekitar 40 persen.

Tidak efisiennya pengelolaan bank inilah yang menyebabkan suku bunga tinggi. Bayangkan, suku bunga bersih yang merupakan selisih antara suku bunga kredit dengan suku bunga simpanan terbilang fantastis.

Besarannya pada tahun ini mencapai 5,95 persen (September). Tidak jauh berbeda dengan kondisi di tahun 2005 yang 5,63 persen. Sementara perbankan di Asia Tenggara masih di kisaran 2-3 persen.

Mahalnya ongkos meminjam uang di bank ikut menghambat pergerakan dunia usaha di Indonesia. Apesnya, dunia usaha apalagi usaha kecil, sangat sulit mencari sumber pembiayaan selain dari perbankan.

Namun inefisiensi belum akan berakhir. Kendati kritik sudah berhamburan terkait pemberian bonus para pengelola bank: direksi dan komisaris yang nilainya miliaran setiap tahun tapi Bank Indonesia masih membiarkan.Paling-paling yang baru bisa dilakukan oleh BI sebatas menyindir. Sementara, Financial Stability Board (FSB), badan internasional di bidang keuangan yang direkomendasikan oleh negara-negara G-20, terus mengkaji soal pemberian bonus yang “mengerikan” oleh kalangan perbankan.

Dalam risalahnya yang yang bertajuk “2011 Thematic Review on Compensation”, lembaga ini mendefisikan bahwa bonus harus merupakan cerminan dari tata kelola perbankan yang termasuk di dalamnya soal efisiensi. Bukan semata-mata dibagi dengan rasio keuntungan seperti yang umum terjadi di Indonesia.

Dorongan FSB ini baru sedikit membangunkan Bank Indonesia yang berjanji untuk komitmen mengikuti anjuran lembaga tersebut. Padahal disadari juga oleh mereka, perhatian terhadap bonus ini menjadi bagian dari upaya menurunkan risiko perbankan, dalam hal ini biaya operasional.

Tapi mohon maaf, tampaknya Bank Indonesia masih menanti detail yang dibuat. Jadi, jangan berharap ada kebijakan yang bersifat aktif terkait dengan sistem penggajian dan bonus para pengelola bank.

Alangkah adil, seandainya tingkat efisiensi perbankan — seperti yang disebut FSB termasuk tata kelola — menjadi faktor utama untuk menilai kinerja bankir sebelum diberikan bonus. Sehingga, peran dan tingkat keberhasilan pengelolaan sebuah institusi keuangan yang sensitif itu, bisa terukur dengan jelas.

Jangan sampai, banknya belum efisien kok bonusnya tidak ketulungan, bisa mencapai miliaran. Walaupun misalnya, keuntungan itu diambil dari mencekik nasabah-nasabah kecil lewat suku bunga, yang sampai kini sulit mencari pilihan pembiayaan.

Melihat situasi ini, rasanya mimpi seandainya berharap bahwa suku bunga pinjaman akan turun walaupun Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuannya. Selain perbankan sudah menetapkan harapan keuntungannya, ada biaya lain yang harus dibiayai oleh para nasabah. Yakni, pesta bonus para pengelola bank.

Jadi teringat pernyataan Jusuf Kalla, dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden waktu itu, melakukan kunjungan mendadak ke sebuah bank BUMN. Dia terkejut, lantaran kantor bos bank sebesar lapangan bola. Tentu ini sekadar menggambarkan betapa luasnya ruangan tersebut, dan ini bukan hal yang diperlukan tentunya. Tapi apa mau dikata, pesta para bankir belum usai.

Herry Gunawan jadi wartawan pada 1993 hingga awal 2008. Sempat jadi konsultan untuk kajian risiko berbisnis di Indonesia, kini kegiatannya riset, sekolah, serta menulis.


http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/pesta-bankir-belum-usai.html