Menu Atas

BankSyariah     BaselCommittee     PerangMataUang     Ekonomi     Kontak     About Us     Video    

Sunday, December 1, 2013

Dorong masyarakat melek keuangan, OJK libatkan 2.600 lembaga

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melibatkan sekitar 2.600 lembaga keuangan bank dan non-bank untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia akan produk dan layanan keuangan.

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Darmansyah Hadad telah resmi meluncurkan cetak biru strategi nasional literasi keuangan Indonesia. Program ini bertujuan agar masyarakat Indonesia melek atau paham akan industri jasa keuangan yang aman. Serta mendorong lembaga jasa keuangan untuk mengembangkan produk dan jasa keuangan yang dibutuhkan masyarakat.

"Terdapat 2.600 lembaga keuangan tentunya ada 2.600 program strategi keuangan yang menjangkau lapisan masyarakat," ujarnya saat memberikan sambutan dalam peluncuran program tersebut, di Jakarta Convention Center, Selasa (19/11).

Menurutnya, saat ini, masyarakat Indonesia memiliki pengetahuan yang rendah soal industri keuangan. Penilaian tersebut didasarkan kepada hasil survei nasional literasi keuangan yang dilakukan OJK pada semester satu tahun ini di 20 provinsi. Survei melibatkan 8 ribu responden yang dipilih berdasarkan metode stratified random sampling.

"Ada enam sektor produk jasa keuangan terdiri dari sektor perbankan, asuransi, lembaga pembiayaan, dana pensiun dan pasar modal. Kenyataannya, masyarakat masih minim pengetahuan di lima sektor industri keuangan," jelas dia.

Dia menjelaskan, hasil survei menunjukkan, responden yang memahami jasa perbankan hanya 22 persen. Padahal, sebanyak 57 persen responden telah menggunakan jasa perbankan.

Kemudian, responden yang memahami asuransi hanya 18 persen. Sayangnya, responden yang memanfaatkan produk asuransi hanya 12 persen.

Sementara, responden yang paham mengenai pegadaian sebesar 15 persen. Pengguna jasa gadai hanya lima persen.

Terkait lembaga pembiayaan, hanya 10 persen responden yang paham. Dan, hanya enam persen yang memanfaatkannya

Pemahaman responden soal dana pensiun lebih rendah lagi, hanya tujuh persen. Sementara, yang memanfaatkan produk dana pensiun hanya 2 persen. "Terdapat 81 orang dari setiap 100 responden tidak mengenal dana pensiun."

Terparah, responden yang paham pasar modal hanya 4 persen. Sementara, responden yang terjun ke pasar modal kurang dari satu persen.

http://www.merdeka.com/uang/dorong-masyarakat-melek-keuangan-ojk-libatkan-2600-lembaga.html

Sunday, November 17, 2013

Mengelola Stabilitas, Mendorong Transformasi untuk Pertumbuhan Ekonomi yang Berkesinambungan (Pertemuan Tahunan Perbankan, 14 November 2013)

Kamis, 14 November 2013, Agus D.W. Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia, menyampaikan sambutan pada Sambutan Akhir Tahun Gubernur Bank Indonesia dan Pertemuan Tahunan Perbankan. Pertemuan yang digelar menjelang penghujung tahun 2013 ini dihadiri oleh kalangan pimpinan DPR, para menteri bidang ekonomi, seluruh pimpinan perbankan, kalangan dunia usaha, pimpinan lembaga pemerintah non kementerian dan sejumlah lembaga internasional menjadi forum yang strategis dalam perekonomian nasional.

Dalam sambutannya, Agus D.W. Martowardojo mengatakan bahwa ada tiga isu besar ekonomi global yang memberikan ketidakpastian dan tekanan kepada ekonomi Indonesia pada tahun 2013 ini. Pertama, adalah ketidakpastian mengenai kecepatan pemulihan global. Kedua, adalah ketidakpastian yang meluas seiring ketidaktegasan kebijakan di AS, dan ketiga, adalah berkaitan dengan ketidakpastian perkembangan harga komoditas. Tiga isu utama ekonomi global tersebut tidak dapat dihindari menurunkan kinerja ekonomi Indonesia. Di tengah kuatnya pertumbuhan ekonomi domestik, ketidakpastian ekonomi global mengakibatkan neraca transaksi berjalan mengalami tekanan. Menghadapi kondisi tersebut, kebijakan diarahkan untuk memastikan inflasi tetap terkendali, nilai tukar rupiah terjaga pada kondisi fundamentalnya, serta defisit neraca transaksi berjalan dapat ditekan menuju tingkat yang sehat.

Sebagai respon atas tantangan yang dihadapi, Agus D.W. Martowardojo menegaskan bahwa arah kebijakan Bank Indonesia ke depan, termasuk di periode transisi politik tahun 2014, akan konsisten menjaga stabilitas perekonomian dan sistem keuangan. Stabilitas tetap perlu dikedepankan agar struktur ekonomi menjadi lebih seimbang dan sehat, sehingga menjadi fondasi kuat bagi transformasi ekonomi ke depan. Secara keseluruhan arah kebijakan Bank Indonesia diimplementasikan melalui bauran kebijakan di bidang moneter, makroprudensial dan sistem pembayaran.

Dari sisi kebijakan moneter, BI Rate akan tetap secara konsisten diarahkan untuk mengendalikan inflasi agar sesuai targetnya. Kebijakan nilai tukar ditempuh guna mengarahkan agar bergerak sesuai dengan nilai fundamentalnya sehingga dapat berperan menjadi instrumen peredam gejolak. Operasi moneter akan melanjutkan strategi menyerap ekses likuiditas struktural secara terarah dan terukur. Bank Indonesia juga akan terus memperkuat pengembangan pasar uang rupiah maupun valas dan melanjutkan program pendalaman pasar keuangan. Disamping itu, juga akan terus meningkatkan ketahanan eksternal melalui kerjasama keuangan dengan bank sentral dan otoritas keuangan di kawasan.

Dalam upaya memperkuat ketahanan sektor eksternal, BI juga akan menempuh kebijakan makroprudensial melalui supervisory action yang diarahkan untuk memperkuat komposisi kredit kepada sektor-sektor produktif yang berorientasi ekspor dan menyediakan barang substitusi impor serta mendukung upaya peningkatan kapasitas perekonomian. Dalam kaitannya sebagai otoritas makroprudensial, kebijakan BI akan diarahkan pada pengelolaan risiko sistemik, termasuk risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar dan penguatan struktur permodalan. Dalam pengelolaan risiko likuiditas, akan disempurnakan GWM syariah dan penerapan bertahap instrumen Liquidity Coverage Ratio (LCR) mulai 1 Januari 2015. Dalam ruang lingkup penguatan stabilitas sistem keuangan, BI memandang penting upaya penguatan koordinasi makro-mikro antara Bank Indonesia dengan OJK.

Dari sisi kebijakan sistem pembayaran, Bank Indonesia akan mengembangkan industri sistem pembayaran domestik yang lebih efisien melalui penyempurnaan arsitektur sistem pembayaran dan perluasan akses layanan pembayaran. Dalam implementasinya, kebijakan sistem pembayaran akan berlandaskan tiga strategi utama, yaitu penguatan struktur industri domestik, standarisasi teknis dan mekanisme untuk meningkatkan efisiensi, dan perluasan akses layanan pembayaran. Strategi pertama dilakukan melalui pengembangan Gerbang Pembayaran Nasional. Strategi kedua akan ditempuh dengan membangun aspek standarisasi dalam industri sistem pembayaran nasional. Strategi ketiga dilakukan sebagai bagian integral dari kebijakan keuangan inklusif yang didukung program edukasi dan perlindungan konsumen.

Disamping kebijakan moneter, makroprudensial dan sistem pembayaran, Bank Indonesia juga akan memperkuat kebijakan terkait keuangan inklusif dan UMKM. Mempertimbangkan tantangan ekonomi tersebut serta arah kebijakan yang akan ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah, maka perekonomian tahun 2014 diperkirakan masih dalam tahap konsolidasi. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan membaik dalam kisaran 5,8-6,2%. Dari sisi harga, inflasi diprakirakan pada kisaran target 4,5±1%. Pertumbuhan kredit pada kisaran 15-17%, dengan ditopang pertumbuhan dana pihak ketiga pada kisaran yang sama.

Dalam perspektif jangka menengah 2015-2018, ekonomi global diperkirakan dapat tumbuh rata-rata sekitar 3,9%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan mencapai 6,5% di 2018, bila berbagai kebijakan transformasi perekonomian berjalan sesuai harapan. Namun, pertumbuhan ekonomi berpotensi tersendat di sekitar 6% bila proses transformasi tidak berjalan sesuai harapan.

Guna mencapai sejumlah sasaran penting tersebut, Bank Indonesia telah mencanangkan visi hingga 2024 yakni menjadi lembaga bank sentral yang kredibel dan terbaik di regional. Guna mencapai visi tersebut, Bank Indonesia ingin memastikan bahwa semua potensi sumber daya yang dimiliki berfungsi secara lebih efektif melalui nilai-nilai strategis kami yang baru yaitu (1) menjunjung tinggi kepercayaan dan integritas, (2) mengedepankan profesionalisme, (3) mengupayakan kesempurnaan kinerja, (4) memprioritaskan kepentingan publik, serta (5) memperkuat koordinasi dan kerjasama tim.

Tuesday, April 2, 2013

Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/23/PBI/2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah 1 Juli 2009

Ringkasan :
  1. Latar belakang diterbitkannya PBI ini adalah untuk memberikan landasan hukum yang lebih jelas mengenai persyaratan dan tata cara pendirian Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) termasuk pengaturan kepemilikan dan permodalan, kepengurusan, perluasan jaringan, serta kegiatan usaha BPRS. Keberadaan BPRS dimaksudkan untuk dapat memberikan layanan perbankan secara cepat, mudah, dan sederhana kepada masyarakat khususnya pengusaha menengah, kecil, dan mikro baik di perdesaan maupun perkotaan yang selama ini belum terjangkau oleh layanan bank umum.
  2. PBI ini dikeluarkan sebagai penyesuaian atas 2 PBI berikut sekaligus mencabut PBI dimaksud pada tanggal berlakunya PBI ini, yaitu:
    1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah, dan
    2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/25/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
  3. BPRS hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha setelah memperoleh izin Bank Indonesia, berupa:
    1. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian BPRS; dan
    2. izin usaha, yaitu izin untuk melakukan kegiatan usaha BPRS setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.
  4. Bentuk badan hukum BPRS adalah Perseroan Terbatas dengan modal disetor BPRS paling kurang sebesar:
    1. Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di wilayah DKI Jakarta dan Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi;
    2. Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di wilayah ibukota propinsi di luar wilayah tersebut pada huruf a di atas;
    3. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk BPRS yang didirikan di luar wilayah tersebut pada huruf a dan huruf b di atas. Mengingat kondisi dan perkembangan perekonomian daerah yang berbeda-beda, maka Bank Indonesia dapat meminta calon pemilik BPRS untuk menyediakan modal disetor di atas jumlah minimum yang dipersyaratkan
  5. BPRS dilarang didirikan dan/atau dimiliki oleh pihak bukan warga negara atau bukan badan hukum Indonesia.
  6. BPRS yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia wajib mencantumkan secara jelas frase “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” atau “BPR Syariah” atau “BPRS” pada penulisan namanya dan logo iB pada kantor BPRS yang bersangkutan.
  7. BPRS wajib memiliki Pemegang Saham Pengendali (PSP). Dalam hal BPRS tidak memiliki PSP, maka salah satu pemegang saham akan ditunjuk sebagai PSP oleh Bank Indonesia. PSP berfungsi sebagai koordinator pemegang saham untuk mengefektifkan komunikasi antara pemilik bank dengan stakeholder.
  8. Perubahan kepemilikan BPRS yang mengakibatkan perubahan dan/atau terjadinya PSP baru, tunduk kepada tatacara perubahan pemilik BPRS yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi)
  9. Jumlah anggota Dewan Komisaris BPRS paling sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak 3 (tiga) orang. Jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah BPRS paling sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak 3 (tiga) orang. Sedangkan jumlah anggota Direksi paling sedikit 2 (dua) orang.
  10. Anggota Direksi berpendidikan formal paling kurang setingkat Diploma III atau Sarjana Muda dan wajib memiliki sertifikasi kelulusan dari lembaga sertifikasi paling lambat 2 (dua) tahun setelah tanggal pengangkatan efektif.
  11. Rencana pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan/atau anggota DPS wajib disampaikan kepada Bank Indonesia.
  12. Pembukaan Kantor Cabang BPRS harus berlokasi dalam 1 (satu) wilayah propinsi yang sama dengan kantor pusatnya dan telah tercantum dalam rencana kerja tahunan BPRS serta didukung dengan teknologi sistem informasi yang memadai.
  13. BPRS yang akan membuka Kantor Cabang harus menambah modal disetor paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari ketentuan modal minimal sesuai dengan lokasi pembukaan Kantor Cabang
  14. Pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dalam wilayah Kabupaten/Kota yang sama dan harus mempertimbangkan kepentingan nasabah, serta mendapat izin dari Bank Indonesia.
  15. Pembukaan, Pemindahan, dan Penutupan Kegiatan Kas di luar Kantor wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia secara semesteran untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember.
  16. Penutupan sementara kantor BPRS di luar hari libur resmi wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.  
Baca Peraturan lengkapnya klik di sini


Thursday, March 14, 2013

Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia



Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.

Karakteristik sistem perbankan syariah yang  beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.

Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia


Untuk memberikan pedoman bagi stakeholders perbankan syariah dan meletakkan posisi serta cara pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia, selanjutnya Bank Indonesia pada tahun 2002 telah menerbitkan “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”. Dalam penyusunannya, berbagai aspek telah dipertimbangkan secara komprehensif, antara lain kondisi aktual industri perbankan syariah nasional beserta perangkat-perangkat terkait, trend perkembangan industri perbankan syariah di dunia internasional dan perkembangan sistem keuangan syariah nasional yang mulai mewujud, serta tak terlepas dari kerangka sistem keuangan yang bersifat lebih makro seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI) maupun international best practices yang dirumuskan lembaga-lembaga keuangan syariah internasional, seperti IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI dan IIFM.


Pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, maka arah pengembangan perbankan syariah nasional selalu mengacu kepada rencana-rencana strategis lainnya, seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dengan demikian upaya pengembangan perbankan syariah merupakan bagian dan kegiatan yang mendukung pencapaian rencana strategis dalam skala yang lebih besar pada tingkat nasional.

“Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” memuat visi, misi dan sasaran pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk menjawab tantangan utama dan mencapai sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, yaitu  pencapaian pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan melalui pendalaman peran perbankan syariah dalam aktivitas keuangan nasional, regional dan internasional, dalam kondisi mulai terbentuknya integrasi dgn sektor keuangan syariah lainnya. 

Dalam jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang potensinya masih sangat besar. Dengan kata lain, perbankan Syariah nasional harus sanggup untuk menjadi pemain domestik akan tetapi memiliki kualitas layanan dan kinerja yang bertaraf internasional.

Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.

Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah

Sebagai langkah konkrit upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia, maka Bank Indonesia telah merumuskan sebuah Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah, sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yg meliputi aspek-aspek strategis, yaitu: Penetapan visi 2010 sebagai industri perbankan syariah terkemuka di ASEAN, pembentukan citra baru perbankan syariah nasional yang bersifat inklusif dan universal, pemetaan pasar secara lebih akurat, pengembangan produk yang lebih beragam, peningkatan layanan, serta strategi komunikasi baru yang memposisikan perbankan syariah lebih dari sekedar bank.


Selanjutnya berbagai program konkrit telah dan akan dilakukan sebagai tahap implementasi dari grand strategy pengembangan pasar keuangan perbankan syariah, antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama, menerapkan visi baru pengembangan perbankan syariah pada fase I tahun 2008 membangun pemahaman perbankan syariah sebagai Beyond Banking, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.50 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah paling atraktif di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 75%. Fase III  tahun 2010 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.124 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 81%.

Kedua, program pencitraan baru perbankan syariah yang meliputi aspek positioning, differentiation, dan branding. Positioning baru bank syariah sebagai perbankan yang saling menguntungkan kedua belah pihak, aspek diferensiasi dengan keunggulan kompetitif dengan produk dan skema yang beragam, transparans, kompeten dalam keuangan dan beretika, teknologi informasi yang selalu up-date dan user friendly, serta adanya ahli investasi keuangan syariah yang memadai. Sedangkan pada aspek branding adalah “bank syariah lebih dari sekedar bank atau beyond banking”.

Ketiga, program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal atau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.
Keempat, program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan  dukungan jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.

Kelima, program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah; dan

Keenam, program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media cetak, elektronik, online/web-site), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Sumber: Bank Indonesia



Inflasi



Definisi
Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi.
Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.
Indikator inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain:
  1. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari suatu komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu komoditas. [Penjelasan lebih detail mengenai IHPB dapat dilihat pada web site Badan Pusat Statistik www.bps.go.id]
  2. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.
Pengelompokan Inflasi
Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam 7 kelompok pengeluaran (berdasarkan the Classification of individual consumption by purpose - COICOP), yaitu :
  1. Kelompok Bahan Makanan
  2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau
  3. Kelompok Perumahan
  4. Kelompok Sandang
  5. Kelompok Kesehatan
  6. Kelompok Pendidikan dan Olah Raga
  7. Kelompok Transportasi dan Komunikasi.
Disagregasi Inflasi 
Disamping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan yang lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi tersebut dilakukan untuk menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.
Di Indonesia, disagegasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:
  1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:
    • Interaksi permintaan-penawaran
    • Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang
    • Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen
  2. Inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti  terdiri dari :
    • Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food) :
      Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional. 
    • Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices) :
      Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dll.
Determinan Inflasi
Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.
Faktor penyebab terjadi demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum regional (UMR). Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari komdisi supply-demand tersebut. Demikian halnya pada saat penentuan UMR, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan.  


Pentingnya Kestabilan Harga
Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.
Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.

Sumber: Bank Indonesia