Menu Atas

BankSyariah     BaselCommittee     PerangMataUang     Ekonomi     Kontak     About Us     Video    

Thursday, December 15, 2011

Pesta Bankir Belum Usai

Oleh Herry Gunawan | Newsroom Blog

Sungguh menyedihkan pernyataan Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution, yang disampaikannya kemarin. Perbankan kita, kata dia, memiliki keseimbangan semu lantaran antara tingkat keuntungan dan kehati-hatian yang tinggi dengan tingkat efisiensi tidak tersambung.

Untungnya besar, tingkat hati-hati yang di antaranya ditunjukan melalui rasio kecukupan modal cukup tinggi, tapi nilai efisiensi masih merah. Inilah yang disebut Darmin sebagai keseimbangan semu.

Pernyataan itu menyedihkan, karena jika melihat data Bank Indonesia, terlihat bahwa perbankan memang tidak berniat meningkatkan efisiensi. Dan hal ini diketahui oleh bank sentral yang hingga kini masih menjadi regulator sekaligus pengawas perbankan.

Pada tahun 2005 misalnya, data Bank Indonesia menyebutkan, pendapatan operasional yang habis digunakan untuk membiayai kegiatan operasional mencapai 89,5 persen. Tahun ini di bulan September, besarannya masih 87,14 persen. Rasio ini biasa disebut dengan rasio BOPO atau rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Betapa borosnya perbankan kita.

Tak heran jika untuk ukuran kawasan negara-negara di Asia tenggara, perbankan kita bisa dipastikan juara. Menang dalam ketidakefisienan. Sebab pesaingnya di Asia Tenggara bertahan di sekitar 40 persen.

Tidak efisiennya pengelolaan bank inilah yang menyebabkan suku bunga tinggi. Bayangkan, suku bunga bersih yang merupakan selisih antara suku bunga kredit dengan suku bunga simpanan terbilang fantastis.

Besarannya pada tahun ini mencapai 5,95 persen (September). Tidak jauh berbeda dengan kondisi di tahun 2005 yang 5,63 persen. Sementara perbankan di Asia Tenggara masih di kisaran 2-3 persen.

Mahalnya ongkos meminjam uang di bank ikut menghambat pergerakan dunia usaha di Indonesia. Apesnya, dunia usaha apalagi usaha kecil, sangat sulit mencari sumber pembiayaan selain dari perbankan.

Namun inefisiensi belum akan berakhir. Kendati kritik sudah berhamburan terkait pemberian bonus para pengelola bank: direksi dan komisaris yang nilainya miliaran setiap tahun tapi Bank Indonesia masih membiarkan.Paling-paling yang baru bisa dilakukan oleh BI sebatas menyindir. Sementara, Financial Stability Board (FSB), badan internasional di bidang keuangan yang direkomendasikan oleh negara-negara G-20, terus mengkaji soal pemberian bonus yang “mengerikan” oleh kalangan perbankan.

Dalam risalahnya yang yang bertajuk “2011 Thematic Review on Compensation”, lembaga ini mendefisikan bahwa bonus harus merupakan cerminan dari tata kelola perbankan yang termasuk di dalamnya soal efisiensi. Bukan semata-mata dibagi dengan rasio keuntungan seperti yang umum terjadi di Indonesia.

Dorongan FSB ini baru sedikit membangunkan Bank Indonesia yang berjanji untuk komitmen mengikuti anjuran lembaga tersebut. Padahal disadari juga oleh mereka, perhatian terhadap bonus ini menjadi bagian dari upaya menurunkan risiko perbankan, dalam hal ini biaya operasional.

Tapi mohon maaf, tampaknya Bank Indonesia masih menanti detail yang dibuat. Jadi, jangan berharap ada kebijakan yang bersifat aktif terkait dengan sistem penggajian dan bonus para pengelola bank.

Alangkah adil, seandainya tingkat efisiensi perbankan — seperti yang disebut FSB termasuk tata kelola — menjadi faktor utama untuk menilai kinerja bankir sebelum diberikan bonus. Sehingga, peran dan tingkat keberhasilan pengelolaan sebuah institusi keuangan yang sensitif itu, bisa terukur dengan jelas.

Jangan sampai, banknya belum efisien kok bonusnya tidak ketulungan, bisa mencapai miliaran. Walaupun misalnya, keuntungan itu diambil dari mencekik nasabah-nasabah kecil lewat suku bunga, yang sampai kini sulit mencari pilihan pembiayaan.

Melihat situasi ini, rasanya mimpi seandainya berharap bahwa suku bunga pinjaman akan turun walaupun Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuannya. Selain perbankan sudah menetapkan harapan keuntungannya, ada biaya lain yang harus dibiayai oleh para nasabah. Yakni, pesta bonus para pengelola bank.

Jadi teringat pernyataan Jusuf Kalla, dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden waktu itu, melakukan kunjungan mendadak ke sebuah bank BUMN. Dia terkejut, lantaran kantor bos bank sebesar lapangan bola. Tentu ini sekadar menggambarkan betapa luasnya ruangan tersebut, dan ini bukan hal yang diperlukan tentunya. Tapi apa mau dikata, pesta para bankir belum usai.

Herry Gunawan jadi wartawan pada 1993 hingga awal 2008. Sempat jadi konsultan untuk kajian risiko berbisnis di Indonesia, kini kegiatannya riset, sekolah, serta menulis.


http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/pesta-bankir-belum-usai.html

Thursday, August 18, 2011

IKHTISAR PERBANKAN INDONESIA


INSTITUSI PERBANKAN DI INDONESIA

Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsinya berasaskan prinsip kehati-hatian. Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.

Berdasarkan undang-undang, struktur perbankan di Indonesia, terdiri atas bank umum dan BPR. Perbedaan utama bank umum dan BPR adalah dalam hal kegiatan operasionalnya. BPR tidak dapat menciptakan uang giral, dan memiliki jangkauan dan kegiatan operasional yang terbatas. Selanjutnya, dalam kegiatan usahanya dianut dual bank system, yaitu bank umum dapat melaksanakan kegiatan usaha bank konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah. Sementara prinsip kegiatan BPR dibatasi pada hanya dapat melakukan kegiatan usaha bank konvensional atau berdasarkan prinsip syariah



Sumber:
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Ikhtisar+Perbankan/Lembaga+Perbankan/

Wednesday, August 10, 2011

MITIGASI DAN REVIEW RISIKO PEMBIAYAAN





























Singkatan:
RKAP = Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan
PPAP = Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif
NAP = Nota Analisa Pembiayaan
SP3 = Surat Penegasan Persetujuan Pembiayaan
DPRP = Daftar Pengecekan Realisasi Pembiayaan

Friday, August 5, 2011

MANAJEMEN RISIKO PERBANKAN

1. Apakah manajemen risiko di lembagan perbankan itu?

a. Esensi dari manajemen risiko adalah bagaimana mengelola risiko hingga dapat terkendali (manageable) pada batas (limit) yang dapat diterima (acceptable) dan menguntungkan bagi bank
b. Perbedaan kondisi pasar dan struktur perusahaan menyebabkan tidak ada satu sistem manajemen risiko yang sesuai untuk semua bank, sehingga setiap bank harus membangun sistem manajemen risiko sesuai kebutuhan

2. Mengapa perlu dilakukan manajemen risiko ?

a. Bank dihadapkan pada risiko dalam pengelolaan usahanya sebagai lembaga perantara keuangan
b. Perkembangan dunia usaha mendorong munculnya berbagai jenis risiko
c. Tuntutan akuntabilitas manajemen terhadap keberhasilan usaha yang semakin meningkat menyebabkan manajemen membutuhkan suatu strategi yang memampukan mereka memahami implikasi dan risiko yang terkait dalam setiap keputusan yang diambil. Tanpa kebijakan manajemen risiko, maka akuntabilitas akan sulit dilakukan.
d. Penerapan prosedur manajemen risiko akan banyak memberikan manfaat, antara lain:
• Meningkatkan shareholder value dengan cara meminimumkan kerugian dan memaksimumkan peluang
• Meningkatkan efektivitas strategic planning
• Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap risiko
• Menerapkan metode pengambilan keputusan yang sistematis dan didasarkan atas ketersediaan informasi
• Menciptakan organisasi yang berkualitas
• Memanfaatkan sumber daya secara lebih optimal
• Meningkatkan kesiapan terhadap penilaian oleh pihak luar

3. Bagaimana melaksanakan manajemen risiko itu?

a. Identifikasi Risiko
b. Penilaian dan/atau Pengukuran Risiko
c. Pemantauan dan Pelaporan Risiko
d. Pengendalian Risiko

4. Identifikasi Risiko

Risiko adalah :
kejadian potensial (potential events), baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan atau modal bank
Untuk dapat secara tepat mengidentifikasi risiko, suatu bank harus mengenal dan memahami semua risiko yang ada maupun yang mungkin timbul dari suatu bisnis baru, termasuk risiko-risiko yang berawal dari anak perusahaan dan afiliasi lainnya.

5. Jenis Risiko

Risiko kredit (credit risk)

Risiko yang timbul apabila debitur (obligor) gagal memenuhi kewajibannya sesuai kontrak yang diperjanjikan dengan bank

Risiko suku bunga (interest rate risk)

Risiko yang timbul dari perbedaan tingkat suku bunga dari interest-sensitive assets, liabilities, dan off balance sheet

Risiko likuiditas (liquidity risk)

Risiko yang timbul akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo yang terjadi sejalan dengan fungsi bank sebagai lembaga intermediasi

Risiko harga (price risk)

Risiko yang timbul apabila harga instrumen keuangan di pasar berfluktuasi, yang dapat disebabkan oleh perubahan kebijakan ekonomi (systemic risk), ataupun peristiwa/kejadian tertentu yang berkaitan dengan penerbit instrumen keuangan tersebut

Risiko konversi valas (foreign currency translation risk)

Risiko yang timbul apabila terjadi perubahan nilai tukar mata uang di pasar yang mengakibatkan kerugian bagi bank yang memiliki foreign exchange open exposure

Risiko operasional (operational risk)

Risiko yang berkenaan dengan kemungkinan kerugian karena faktor kesalahan manusia (human error) dan kecurangan (fraud) dalam kegiatan operasioanal, maupun biaya yang tidak terduga yang akan menjadi beban bank

Risiko kepatuhan (compliance risk)

Risiko yang timbul karena pelanggaran atas, atau penyimpangan dari, undang-undang, peraturan, ketentuan, praktek-praktek yang diwajibkan, prosedur dan kebijakan intern, atau standar etika

Risiko strategis (strategic risk)

Risiko yang timbul akibat keputusan bisnis yang bertentangan, implementasi keputusan yang tidak tepat, atau kurangnya respons terhadap perubahan industri

Risiko reputasi (reputational risk)

Risiko yang timbul akibat opini publik yang negatif. Risiko ini dapat menghadapkan bank pada masalah litigasi, kerugian keuangan, atau penurunan jaringan nasabah

6. Pengukuran Risiko

a. Pengukuran risiko yang telah diidentifikasi harus dilakukan secara tepat waktu dan akurat
b. Pengukuran risiko bertujuan untuk mengkalkulasi jumlah modal yang harus dipelihara bank dalam rangka mendukung aktivitas usaha bank, serta memudahkan bank melakukan pengendalian dan pemantauan risiko
c. Metode pengukuran risiko dapat dilakukan secara kuantitatif maupun kualitatif. Metode kuantitatif selama ini telah dikembangkan oleh BIS maupun oleh para praktisi.
d. Metode pengukuran risiko harus disesuaikan dengan : (i) jenis, skala, dan kompleksitas kegiatan usaha, (ii) kemampuan sistem informasi untuk mengumpulkan data, dan (iii) kemampuan manajemen memahami output dari metode pengukuran tersebut
e. Sistem pengukuran risiko yang baik harus mampu menilai risiko baik pada tingkat portofolio maupun transaksi
f. Secara periodik bank harus melakukan kaji ulang untuk memastikan bahwa metode pengukuran yang digunakan masih akurat.

7. Pemantauan Risiko

a. Bank harus memantau perkembangan risiko, yaitu melalui pemantauan eksposur yang ada apakah masih dalam batas/limit yang telah ditetapkan
b. Pemantauan risiko harus dilakukan secara kontinyu oleh unit kerja yang independen
c. Laporan hasil pemantauan risiko harus disusun secara tepat waktu, akurat, informatif dan disampaikan kepada pihak yang tepat agar segera dilakukan tindak lanjut yang diperlukan

8. Pengendalian Risiko

a. Bank harus menetapkan dan mengkomunikasikan limit-limit melalui suatu kebijakan, standar, dan prosedur tertulis yang menegaskan tanggungjawab dan kewenangan
b. Penetapan limit harus sejalan dengan maksimum eksposur yang ditetapkan Direksi, dan didasarkan atas jenis, besaran, dan kompleksitas transaksi yang dilakukan bank
c. Penetapan limit hendaknya dilakukan secara berjenjang sesuai dengan tingkat jabatan, misalnya institusi secara keseluruhan, risk taking unit, trading desk, dan dealer secara individual
d. Manajemen harus mampu melakukan penyesuaian ketika terjadi perubahan kondisi ataupun toleransi risiko

9. Manajemen Risiko yang Sehat

a. Pengawasan oleh Direksi dan top manajemen secara aktif
b. Kebijakan dan prosedur yang memadai
c. Pengukuran dan pemantauan risiko, serta sistem informasi manajemen yang memadai
d. Pengendalian internal yang komprehensif

10. Framework Manajemen Risiko



Sudjendro/Pemerhati Perbankan

Monday, May 9, 2011

Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit

Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/5/DPNP tanggal 8 Februari 2011 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit Berlaku : Sejak tanggal 31 Maret 2011

Ringkasan:

a.Tujuan

Tujuan dari dikeluarkannya SE ini adalah untuk: (i) meningkatkan transparansi mengenai karakteristik produk perbankan termasuk manfaat, biaya dan risikonya untuk memberikan kejelasan kepada nasabah, dan (ii) meningkatkan good governance dan mendorong persaingan yang sehat dalam industri perbankan melalui terciptanya disiplin pasar (market discipline) yang lebih baik.

b.Pokok-pokok pengaturan Suku Bunga Dasar Kredit (Prime Lending Rate)

1.Perhitungan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) merupakan hasil perhitungan dari 3 komponen yaitu (1) Harga Pokok Dana untuk Kredit atau HPDK; (2) Biaya overhead yang dikeluarkan Bank dalam proses pemberian kredit; dan (3) Margin Keuntungan (profit margin) yang ditetapkan untuk aktivitas perkreditan.

2.Dalam perhitungan SBDK, Bank belum memperhitungkan komponen premi risiko individual nasabah Bank. SBDK merupakan suku bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi Bank dalam penentuan suku bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah Bank.

3.Perhitungan SBDK dalam rupiah yang wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia dan dipublikasikan, dihitung untuk 3 jenis kredit yaitu (1) kredit korporasi; (2) kredit retail; dan (3) kredit konsumsi (KPR dan Non KPR). Untuk kredit konsumsi non KPR tidak termasuk penyediaan dana melalui kartu kredit dan kredit tanpa agunan. Penggolongan jenis kredit tersebut didasarkan pada kriteria yang ditetapkan oleh internal Bank. Selain itu, SBDK tersebut dihitung secara per tahun dalam bentuk persentase (%).

4.Bank wajib menyusun laporan perhitungan SBDK dalam rupiah yang memuat rincian perhitungan masing-masing komponen SBDK sesuai dengan tabel komponen perhitungan SBDK sebagaimana lampiran 1 SE ini.

5.Laporan perhitungan SBDK disampaikan kepada Bank Indonesia secara triwulanan bersamaan dengan penyampaian Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan. Namun demikian apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan laporan tersebut secara berkala atau sewaktu-waktu diluar periode penyampaian laporan.

6.Bank yang pada dan/atau setelah tanggal 28 Februari 2011 berdasarkan posisi Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) mempunyai total aset Rp10 T (sepuluh triliun rupiah) atau lebih, wajib melakukan publikasi informasi SBDK dalam rupiah melalui: (1) papan pengumuman di setiap kantor Bank; dan (2) halaman utama website Bank, dalam hal Bank memiliki website; dan (3) surat kabar yang dilakukan bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember.

7.Bagi Bank yang pada tanggal 28 Februari 2011 berdasarkan posisi Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) mempunyai total aset Rp10 T (sepuluh triliun rupiah) atau lebih, kewajiban publikasi informasi SBDK dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: (1) publikasi informasi SBDK melalui papan pengumuman di setiap kantor Bank dan halaman utama website Bank (dalam hal Bank memiliki website), untuk pertama kali dilakukan pada tanggal 31 Maret 2011; dan (2) publikasi informasi SBDK melalui surat kabar, untuk pertama kali dilakukan bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret 2011.

8.Bagi Bank yang setelah tanggal 28 Februari 2011 berdasarkan posisi LBU mempunyai total aset Rp10 T (sepuluh triliun rupiah) atau lebih, kewajiban publikasi informasi SBDK dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: (1) publikasi informasi SBDK di kantor bank dan website, untuk pertama kali dilakukan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak Bank berdasarkan posisi yang tercatat di LBU mempunyai total aset Rp10 T (sepuluh triliun rupiah) atau lebih; dan (2) publikasi informasi SBDK di surat kabar untuk pertama kali dilakukan bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan pada triwulan yang sama dengan periode LBU sejak Bank tercatat mempunyai total aset Rp10 T (sepuluh triliun rupiah) atau lebih.

9.Dalam hal Bank total asetnya turun menjadi kurang dari Rp10 T (sepuluh triliun rupiah), Bank tetap wajib melakukan publikasi informasi SBDK.

10.Informasi SBDK yang dipublikasikan di kantor dan website Bank adalah informasi SBDK yang berlaku pada saat dipublikasikan. Sementara itu, informasi SBDK yang dipublikasikan di surat kabar adalah informasi SBDK yang berlaku sesuai dengan akhir periode Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan.

11.Perubahan SBDK wajib dipublikasikan melalui papan pengumuman di setiap kantor Bank dan halaman utama website Bank paling lama pada tanggal berlakunya perubahan SBDK tersebut.

12.SBDK dipublikasikan kepada masyarakat dalam bentuk angka akhir dari hasil perhitungan komponen SBDK.

13.Bank yang tidak melakukan publikasi informasi SBDK melalui papan pengumuman di setiap kantor Bank dan halaman utama website Bank (dalam hal Bank memiliki website), dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.

14.Bank yang tidak melakukan publikasi informasi SBDK melalui surat kabar bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan/atau Bank yang tidak menyampaikan laporan perhitungan SBDK bersamaan dengan penyampaian Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan kepada Bank Indonesia, dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) dan/atau ayat (3) PBI No.3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor 7/50/PBI/2005.

15.Bank yang menyampaikan laporan perhitungan SBDK dan/atau mempublikasikan informasi SBDK:
a.Tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; dan/atau
b.Tidak sesuai dengan lampiran SE, dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (4) huruf a PBI No.3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank sebagaimana telah diubah dengan PBI No.7/50/PBI/2005.

16.Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Maret 2011.

Saturday, April 9, 2011

Dua Puluh Delapan Bank Bermasalah Kembali Ditutup FDIC

WASHINGTON - 28 bank di wilayah Illinois dan Nevada terpaksa ditutup oleh Badan Regulator Keuangan Amerika Serikat guna memperbaiki perekonomian dan kredit macet.

Demikian dilansir Asociated Pers, Sabtu (9/4/2011). Adapun bank-bank yang ditutup oleh Federal Deposit Insurance Corp (FDIC) adalah Western Springs National Bank and Trust, di Western Springs, Illinois, dengan jumlah aset USD186,8 juta dan jumlah deposito USD181,9 juta.

Hal yang sama juga dilakukan pada Las Vegas Nevada Commerce Bank, dengan jumlah aset USD144,9 juta serta USD136,4 juta pada deposito. Dengan demikian Illinois menjadi salah satu wilayah yang paling terpukul akibat banyaknya bank yang gagal.

Enam belas bank telah ditutup di negara bagian itu pada tahun lalu. Saat ini, penutupan Springs National Bank adalah kegagalan bank keempat di Illinois tahun ini.

Namun demikian penutupan bank pada tahun ini tercatat lebih rendah dibandingkan tahun kemarin. Pada periode yang sama tahun lalu, regulator telah menutup 42 bank dan total bank yang ditutup oleh FDIC pada 2010 adalah 157 bank.

FDIC telah mengatakan bahwa pada 2010 kemungkinan adalah puncak kegagalan bank, jika dibandingkan dengan 2009 yang hanya 140 bank. karenannya FDIC mengatakan pada 2010 adalah penutupan paling banyak sejak krisis tabungan-dan-pinjaman dua dekade lalu.

Meningkatnya jumlah kegagalan bank telah menelan kerugian miliaran dolar dari dana simpanan asuransi, dimana pada 2009 defisit sudah mencapai USD7,4 miliar.

Sementara itu jumlah bank bermasalah yang ada pada daftar rahasia FDIC's naik menjadi 884 pada kuartal terakhir tahun lalu, dari 860 di kuartal ketiga. 884 bank bermasalah ini merupakan jumlah tertinggi sejak 1993, selama krisis tabungan-dan-pinjaman.

FDIC mengharapkan biaya penyelesaian bank gagal yang totalnya mencapai sekira USD52 miliar dapat mencukupi hingga 2014.(ade)

Sumber:
http://economy.okezone.com/read/2011/04/09/213/444200/28-bank-bermasalah-kembali-ditutup-fdic

Monday, February 14, 2011

PENYEBAB KREDIT BERMASALAH

Sumber-sumber penyebab terjadinya kegagalan pengembalian kredit oleh nasabah atau penyebab terjadinya kredit bermasalah pada bank dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Self Dealing
Self dealing terjadi karena adanya interest tertentu dari pejabat pemberi kredit terhadap permohonan yang diajukan nasabah, berupa pemberian kredit yang tidak layak atas dasar yang kurang sehat terhadap nasabahnya dengan harapan mendapatkan kompensasi berupa pemberian imbalan dari nasabah.

2. Anxiety for Income
Pendapatan yang diperoleh melalui kegiatan perkreditan merupakan sumber pendapatan utama sebagian besar bank sehingga ambisi ataupun nafsu yang berlebihan untuk memperoleh laba bank melalui penerimaan bunga kredit sering menimbulkan pertimbangan yang tidak sehat dalam pemberian kredit.

3. Compromise of Credit Principles
Pelanggaran prinsip-prinsip kredit oleh pimpinan bank yang menyetujui pemberian kredit yang mengandung risiko yang potensial menjadi kredit yang bermasalah.

4. Incomplete Credit Information
Terbatasnya informasi seperti data keuangan dan laporan usaha, disamping informasi lainnya seperti penggunaan kredit, perencanaan, ataupun keterangan mengenai sumber pelunasan kembali kredit.

5. Failure to Obtain or Enforce Liquidation Agreements
Sikap ragu-ragu dalam menentukan tindakan terhadap suatu kewajiban yang telah diperjanjikan, meskipun nasabah mampu dan wajib membayarnya, juga merupakan penyebab timbulnya kredit-kredit yang tidak sehat dan mengakibatkan kredit bermasalah bagi bank.

6. Complacency
Sikap memudahkan suatu masalah dalam proses kredit akan mengakibatkan terjadinya kegagalan atas pelunasan kembali kredit yang diberikan.

7. Lack of Supervising
Karena kurangnya pengawasan yang efektif dan berkesinambungan setelah pemberian kredit, kondisi kredit berkembang menjadi kerugian karena nasabah tidak memenuhi kewajibannya dengan baik.

8. Technical Incompetence
Tidak adanya kemampuan teknis dalam menganalisis permohonan kredit dari aspek keuangan meupun aspek lainnya akan berakibat kegagalan dalam operasi perkreditan suatu bank. Para pejabat kredit harus senantiasan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan yang berkaitan dengan tugasnya dan jangan memberikan kredit kepada usaha atau sektor yang tidak dikenal dengan baik.

9. Poor Selection of Risks
Risiko tersebut dapat dijelaskan dibawah ini:

a. Pejabat kredit mampu mendeteksi kemampuan nasabah dalam membiayai usahanya, selain yang diperoleh dari bank.

b. Pejabat kredit harus mampu menghitung berapa kebutuhan nasabah yang sesungguhnya.

c. Pejabat kredit harus mampu menghitung nilai taksasi jaminan yang mengcover kredit yang diberikan.

d. Pejabat kredit harus mampu memperhitungkan kemungkinan risiko yang dihadapi dengan pemberian kredit dan mengetahui sumber pelunasan.

e. Pejabat kredit harus mampu mendeteksi risiko pemberian kredit yang mungkin secara kemampuan cukup baik, tetapi dari sisi moral kurang menguntungkan bagi bank.

f. Pejabat kredit harus mampu mendeteksi kualitas jaminan yang akan menimbulkan masalah di kemudian hari.

10. Overlending
Overlending adalah pemberian kredit yang besarnya melampaui batas kemampuan pelunasan kredit oleh nasabah.

11. Competition
Competition merupakan risiko persaingan yang kurang sehat antar bank yang memperebutkan nasabah yang berakibat pemberian kredit yang tidak sehat.

Sudjendro/Pemerhati Perbankan

Sunday, February 13, 2011

MENCEGAH TERULANGNYA KASUS KREDIT BERMASALAH

Oleh: Drs. Sudjendro, MSi / Pemerhati Perbankan

Walaupun dari kenyataan bisnis perbankan sehari-hari diketahui bahwa kasus kredit bermasalah tidak dapat dihindari secara mutlak, namun setiap bank harus tetap berusaha untuk mencegah terulangnya kasus itu. Setiap orang pimpinan bank (termasuk para dewan komisaris), para eksekutif dan staff bank yang tugasnya berkaitan dengan perkreditan harus sadar, bahwa mereka mempunyai tanggung jawab untuk meminimalisasi risiko munculnya risiko kasus kredit bermasalah pada bank mereka masing-masing. Dengan perkataan lain, walaupun mereka mempunyai kewajiban untuk mengoptimalisasi pendapatan bank dari kredit yang disalurkan, namun mereka juga harus dapat mengendalikan risiko penanaman dana dalam aktiva produktif tersebut. Hal itu dapat dilaksanakan dengan jalan menerapkan asas manajemen kredit yang sehat. Secara rinci, wujud penerapan asas manajemen kredit yang sehat itu adalah sebagai berikut:

1. Menyusun kebijaksanaan kredit yang sehat,
2. Evaluasi yang seksama terhadap kemampuan dan kesediaan calon debitur melunasi kredit yang mereka pinjam,
3. Meningkatkan mutu personalia bank, terutama mereka yang tugasnya berkaitan dengan penyaluran kredit,
4. Mengawasi perkembangan mutu kredit secara ketat,
5. Menangani kasus-kasus kredit bermasalah secara profesional,
6. Menyusun dokumentasi dan administrasi kredit yang sehat.

Perlu diingatkan bahwa bagi bank pengertian tentang pemberian kredit tidak terbatas pada kredit yang dibukukan dalam aktiva neraca sebagai pos kredit diberikan, melainkan juga pada jenis kredit yang lain. Sebagai contoh, jenis kredit yang lain adalah repurchase agreement-repos, yaitu pembelian surat surat berharga dengan perjanjian akan dibeli kembali oleh penerbitnya, factoring atau anjak piutang, dan pemberian fasilitas jaminan (stand by L/C, endosemen, bank guarantee, dan sebagainya).

Kebijaksanaan Pokok Penyaluran Kredit yang Sehat

Kebijaksanaan pokok penyaluran kredit setiap bank harus dinyatakan secara tertulis. Dengan demikian, setiap pejabat yang berkaitan dengan penyaluran kredit, mempunyai pedoman yang dapat dipergunakan sebagai pegangan dalam melaksanakan tugasnya. Kebijaksanaan pokok perkreditan tersebut harus jelas sehingga mudah dimengerti, ringkas tetapi padat dan memberi peluang untuk dapat ditinjau kembali sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi bisnis.

Walaupun kebijaksanaan kredit tiap bank tidak sama dengan bank yang lain, namun ketentuan utama yang dapat menjamin kesehatan mutu kredit, harus dimasukkan dalam kebijaksanaan tersebut. Ketentuan utama tersebut adalah sebagai berikut:

1. Garis besar organisasi kredit,
2. Kebijaksanaan persetujuan kredit,
3. Batas jumlah pemberian kredit kepada debitur,
4. Kriteria tentang kredit berisiko tinggi.

Organisasi Perkreditan

Agar dapat menerapkan kredit yang sehat, bank harus mempunyai organisasi kredit yang sehat pula. Oleh karena itu, dalam kebijaksanaan pokok penyaluran kredit, wajib dicantumkan hal-hal yang bersangkutan dengan organisasi perkreditan. Tugas pokok, wewenang dan tanggung jawab dari dewan komisaris, dewan direksi, komite kredit, manajer kantor pusat, manajer cabang dan eksekutif lain yang berkaitan dengan penyaluran kredit, harus dinyatakan dengan tegas dan jelas.
Dalam kebanyakan organisasi bank, tugas pokok, wewenang dan tanggung jawab dewan komisaris dalam kaitannya dengan perkreditan adalah:

1. Memeberikan persetujuan terhadap rencana tahunan pemberian kredit yang diajukan oleh dewan direksi,
2. Memberikan persetujuan terhadap saran pemberian kredit kepada debitur yang terkait dengan bank dan kreditur besar tertentu, atau pemberian kredit dalam jumlah bersar,
3. Memonitor pelaksanaan rencana tahunan pemberian kredit, meminta pertanggung jawaban direksi bilamana terjadi penyimpangan dari rencana tahunan,
4. Memeberikan persetujuan terhadap rencana kebijaksanaan pokok perkreditan yang diajukan oleh dewan direksi,
5. Memonitor penerapan kebijaksanaan perkreditan, serta meminta pertanggungjawaban dewan direksi bila mana terjadi penyimpangan dari kebijaksanaan perkreditan.
6. Memonitor perkembangan mutu kredit yang berkaitan kepada para debitur pada umumnya, kredit yang diberikan kepada debitur yang berkaitan dengan bank dan kredit yang diberikan kepada debitur besar tertentu.

Tugas pokok, wewenang dan tanggung jawab dewan direksi dalam kaitannya dengan perkreditan adalah:

1. Menyiapkan rencana tahunan dan kebijaksanaan pemberian kredit,
2. Melaksanakan rencana tahunan dan kebijaksanaan pemberian kredit yang telah mendapat persetujuan dari dewan komisaris,
3. Mempertanggungjawabkan pelaksanaan rencana tahunan dan kebijaksanaan pemberian kredit kepada dewan komisaris bank dan kepada bank sentral,
4. Memonitor pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan,
5. Melakukan koreksi yang diperlukan terhadap penyimpangan dari rencana kredit tahunan dan kebijaksanaan perkreditan,
6. Memonitor perkembangan mutu kredit secara keseluruhan, kredit yang diberikan kepada debitur yang mempunyai kaitan dengan bank, kredit yang diberikan kepada debitur tertentu,
7. Menentukan langkah penanganan kredit bermasalah dan memonitor pelaksanaannya.

Banyak bank menganut prinsip pembentukan komite kredit guna membantu dewan direksi dalam pengambilan keputusan pemberian kredit dengan jumlah tertentu, pengawasan perkembangan mutu kredit, penanganan kredit bermasalah maupun dalam menentukan langkah perbaikan. Apabila bank menganut prinsip di atas, dalam kebijaksanaan pokok perkreditan bank perlu dicantumkan ketentuan tentang jumlah anggota komite, siapa yang menjadi anggota komite, posisi komite kredit dalam bagan organisasi bank, serta tugas pokok, wewenang dan tanggung jawab mereka.

Kebijaksanaan Persetujuan Kredit

Persetujuan pemberian kredit dapat dikatakan sehat bilamana diberikan berdasarkan hasil dan penilaian total atas permintaan kredit dan atas diri debitur. Yang dimaksud dengan penilaian total adalah penilaian atas kelayakan permintaan kredit yang sedang diajukan, dan mutu kredit yang pernah diberikan kepada calon debitur.

Dengan demikian, apabila calon debitur pernah atau sedang menikmati fasilitas kredit dari bank kreditur, maka fokus penelitian analisis kredit tidak terbatas pada kelayakan permintaan kredit yang sedang diajukan, melainkan juga pada prestasi calon debitur dalam memenuhi isi perjanjian kredit pada masa yang lalu. Apabila calon debitur adalah anggota dari satu kelompok perusahaan tertentu, ada kemungkinan anggota yang lain dari kelompok perusahaan tersebut pernah atau sedang menikmati pemberian kredit dari bank kreditur. Dalam keadaan seperti itu, sebelum memutuskan untuk menyetujui pemberian kredit baru, bank kreditur juga wajib meneliti kesehatan pelaksanaan perjanjian kredit mereka dengan debitur lama, yang merupakan anggota kelompok perusahaan tersebut.

Dalam kebijaksanaan penyaluran kredit yang sehat, di dalamnya juga dinyatakan secara tertulis perihal jenjang batas-batas wewenang para pejabat bank yang terkait (minimal batas jumlah nilai kredit), dalam memberikan persetujuan pemberian kredit kepada calon debitur dan/atau kepada debitur lama. Sudah barang tentu jenjang batas wewenang tersebut di atas ditentukan berdasarkan bahan pertimbangan atau kriteria tertentu. Persetujuan pemberian kredit oleh pejabat bank yang terkait harus dinyatakan secara tertulis.

Sebagai catatan dapat dinyatakan bahwa dalam jenjang manapun persetujuan pemberian kredit itu diberikan, para pejabat pengambil keputusan untuk menyetujui pemberian kredit harus dapat dipertanggungjawabkan kepada bank bahwa:

1. Keputusan pemberian kredit tersebut didasarkan pada hasil analisis kredit yang profesional,
2. Kredit tersebut dapat diharapkan tidak akan berkembang menjadi kredit bermasalah,
3. Kredit tersebut telah memenuhi ketentuan kebijaksanaan pokok penyaluran kredit yang telah digariskan oleh bank,
4. Keputusan pemberian kredit tadi bebas dari pengaruh pihak ketiga yang ikut berkepentingan dalam pemberian kredit itu.

Di samping ketentuan tentang persetujuan pemberian kredit, dalam kebijaksanaan pokok penyaluran kredit wajib dicantumkan juga ketentuan tentang persetujuan pencairan kredit yang telah disetujui untuk diberikan kepada debitur. Pada dasarkan bank baru dapat menyetujui debitur menarik kredit yang telah disediakan untuk mereka, apabila mereka dapat memenuhi syarat-syarat tentang pencairan kredit yang telah disepakati bersama dalam perjanjian kredit. Di samping itu, kebanyakan bank baru dapat menyetujui debitur mencairkan kredit yang diberikan kepada mereka, apabila berbagai macam aspek yuridis yang dapat melindungi bank (misalnya pemasangan hak tanggungan atas harta yang dijaminkan) telah dipenuhi.

Batas Jumlah Pemberian Kredit Kepada Debitur

Debitur dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu debitur biasa dan debitur yang mempunyai kaitan khusus dengan bank. Debitur biasa dapat dibagi lagi menjadi debitur ukuran kecil, menengah dan besar.

Debitur yang terkait dengan bank adalah debitur yang mempunyai kaitan khusus dengan bank kreditur, yaitu:

1. Mereka yang mempunyai saham sebesar 10% atau lebih dari modal disetor bank kreditur,
2. Para anggota dewan komisaris bank,
3. Para anggota dewan direksi bank,
4. Keluarga dari pemegang saham, komisaris dan dewan direksi bank,
5. Pejabat bank yang bersangkutan,
6. Perusahaan yang mempunyai anggota kelompok perusahaan yang sama dengan bank kreditur,
7. Perusahaan yang para pejabatnya (termasuk anggota dewan komisaris) juga menjabat bank kreditur.

Untuk menghindari konsentrasi kredit pada satu atau sekelompok debitur (sehingga terjadi konsentrasi risiko kredit pada para debitur), jumlah maksikum kredit yang dapat diberikan kepada satu atau sekelompok debitur harus dibatasi.

Pembatasan jumlah maksimum pemberian kredit kepada debitur tadi harus dinyatakan dengan tegas dan jelas dalam kebijaksanaan penyaluran kredit. Seringkali ketentuan tentang batas maksimum jumlah kredit yang dapat diberikan bank kepada debitur biasa dan debitur yang terkait dengan bank tadi diatur oleh bank sentral. Sebagai contoh, dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia nomor 26/21/Kep/Dir tertanggal 23 Mei 1993, Bank Indonesia menentukan batas maksimum jumlah kredit yang dapat diberikan oleh bank kepada satu kelompok debitur biasa adalah 20% dari modal bank. Adapun batas maksimum jumlah kredit yang dapat diberikan kepada satu kelompok debitur yang terkait dengan bank adalah 10% dari modal bank. Dalam keadaan seperti ini, mau tidak mau setiap bank harus mencantumkan ketentuan tersebut di atas dalam kebijaksanaan penyaluran kreditmereka.

Kriteria Tentang Kredit Berisiko Tinggi

Untuk mencegah timbulnya kasus kredit bermasalah bank harus berusaha keras untuk menghindari kredit yang berisiko tinggi. Agar para pejabat bank mempunyai pegangan tentang kredit yang harus mereka hindari, dalam kebijaksanaan pokok penyaluran kredit mereka, bank harus mencantumkan dengan jelas kriteria kredit yang mereka katagorikan sebagai kredit berisiko tingggi. Sebagai pedoman umum dapat diutarakan bahwa suatu kredit dapat dikatagorikan berisiko tingggi oleh masing-masing bank, bilamana termasuk dalam salah satu atau lebih kriteria yang berikut:

1. Calon debitur akan menggunakan kredit yang mereka minta untuk tujuan spekulasi, misalnya membeli tanah dengan harapan akan memperoleh capital gain dikemudian hari,
2. Calon debitur tidak dapat memberikan data dan informasi pokok tentang perusahaan, bidang usaha dan kondisi keuangan mereka (termasuk daftar keuangan dan informasi pendukungnya),
3. Calon debitur akan menggunakan kredit yang diminta untuk mendanai bidang usaha atau proyek yang memerlukan keahlian khusus yang tidak dikuasi bank,
4. Calon debitur akan mempergunakan kredit yang diminta untuk melunasi kredit bermasalah mereka pada bank lain.


Meningkatkan Mutu Sumber Daya Manusia
Penerapan kebijaksanaan penyaluran kredit yang sehat, tidak akan berhasil seperti yang diharapkan apabila pengetahuan dan pengalaman para pejabat bank yang bersangkutan dengan penyaluran kredit sangat minim. Bagi perusahaan jasa, termasuk bank, sumber daya manusia merupakan aset operasional mereka.

Seperti halnya dengan mesin dan peralatan perusahaan industri manufaktur yang memproduksi berbagai macam hasil produksi, sebagai aset operasional, sumber daya manusia bank memproduksi berbagai macam produk perbankan seperti kredit yang diberikan, jasa pendanaan perdagangan internasional, deposito, surat berharga dan sebagainya. Seberapa besar jumlah dihasilkan dan tinggi rendahnya mutu kredit, deposito, surat berharga dan produk bank lain yang dihasilkan oleh sumber daya manusia bank akan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya mutu mereka.

Program Pelatihan Perbankan

Dari uraian singkat di atas, tampak bahwa setiap bank mempunyai kewajiban untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia mereka, antara lain dengan jalan menyelenggarakan program pelatihan (training) secara berkesinambungan.

Pelatihan tentang manajemen bank dan kredit diberikan secara bertingkat, yaitu tingkat pengenalan dan tingkat penyegaran atau pengembangan. Pelatihan tingkat pengenalan diberikan kepada account officer baru, sedangkan pelatihan tingkat penyegaran dan pengembangan diberikan kepada para pejabat dan staff lama yang tugasnya berkaitan dengan penyaluran kredit.

Khusus bagi bank-bank di Indonesia, pelatihan tingkat pengenalan penting sekali peranannya bagi keberhasilan para staff bank melakukan tugas pekerjaannya. Hal itu disebabkan sebagian besar universitas di Indonesia tidak banyak memberikan (atau sama sekali tidak memberikan) mata kuliah manajemen bank dan manajemen kredit perbankan. Walaupun demikian, banyak mahasiswa yang selama masa kuliah mereka (terutama mahasiswa fakultas ekonomi dan fakultas hukum), memperoleh mata kuliah yang berkaitan erat dengan kegiatan bisnis perbankan, misalnya manajemen keuangan, akuntansi, auditing, hukum perbankan, hukum perdata dan hukum acara perdata. Oleh karena itu, para account officer, yang baru saja menyelesaikan studi mereka dari universitas perlu mendapat pelatihan pengenalan.

Beberapa subyek utama yang dirasa perlu diberikan selama pelatihan pengenalan adalah sebagai berikut:

1. Introduksi tentang bank yang bersangkutan, termasuk filosofi bisnis yang dianut, bidang kegiatan usaha, bank pesaing utama, standar dan prosedur kerja,
2. Pengantar manajemen perbankan,
3. Manajemen kredit perbankan,
4. Konsep dan teknik analisis kredit,
5. Kredit perdagangan internasional,
6. Menangani kredit bermasalah,
7. Aspek hukum bisnis perbankan.

Bentuk program pelatihan penyegaran dan pengembangan; bank yang bersangkutan dengan peserta, isi, tempat maupun frekuensi penyelenggaraannya, disusun sesuai dengan kebutuhan masing-masing bank. Untuk itu, sebelum menyenyelenggarakan program tersebut, seyogyanya mereka melakukan training need survey, yaitu penelitian tentang pengetahuan tentang perbankan dan perkreditan yang oleh sebagian besar eksekutif dan staff bank dirasakan kurang, dan karenanya perlu ditingkatkan. Training need survey dapat dilakukan oleh bank sendiri, atau mengundang konsultan pendidikan perbankan untuk melakukannya.

Penyelenggaraan Program Pelatihan

Program pelatihan (training) dapat diselenggarakan sendiri oleh bank, oleh lembaga pendidikan di luar bank, atau kombinasi dari kedua pilihan tersebut. Oleh karena pada dasarnya bank bukan lembaga pendidikan, maka sebagian besar bank tidak memilih alternatif pertama. Pada saat penyelenggaraan banyak bank memilih alternatif ketiga yaitu bekerja sama dengan lembaga pendidikan di luar bank. Bentuk kerja sama tersebut antara lain adalah menyelenggarakan pelatihan dengan menggunakan tenaga pengajar dari dalam dan dari lembaga pendidikan di luar bank. Tenaga pengajar dari bank terutama mengajar subyek yang bersangkutan dengan hal-hal yang bersifat intern, misalnya filosofi bisnis, garis besar kebijaksanaan, standar dan prosedur kerja atau pembahasan kasus debitur bermasalah yang pernah ditangani bank. Sedangkan tenaga pengajar dari lembaga pendidikan di luar bank dapat mengajar konsep dan teknik manajemen bank dan perkreditan.

Kerja sama dengan lembaga pendidikan di luar bank dapat juga dilakukan dengan jalan mengirimkan eksekutif dan staff bank menghadiri kursus, lokakarya atau seminar perbankan yang diselenggarakan lembaga pendidikan tersebut. Pada dewasa ini, banyak lembaga pendidikan multinasional (antara lain di Inggris dan Irlandia) yang menyelenggarakan kursus perbankan jangka menengah untuk para peserta dari luar negeri. Didalam negeri sendiri dewasa ini juga telah ada lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan kursus atau lokakarya perbankan jangka pendek, beberapa di antaranya cukup praktis dan berbobot.

Pengawasan Kredit

Tujuan utama pengawasan kredit adalah mencegah sedini mungkin timbulnya praktek pemberian kredit yang tidak sehat, merosotnya mutu kredit yang diberikan dan hal-hal lain yang dapat merugikan bank. Oleh karena dalam sebagian besar kejadian praktek pemberian kredit yang tidak sehat adalah hasil kolusi antara debitur dan para pejabat bank, maka walaupun setiap bank yang dikelola secara profesional akan menjauhkan diri dari sikap berprasangka buruk terhadap karyawannya, namun mau tidak mau semua pejabat bank yang tugasnya berkaitan dengan penyaluran kredit akan menjadi salah satu obyek utama pengawasan kredit. Obyek utama kedua pengawasan kredit adalah para debitur, termasuk debitur yang terkait dengan bank dan debitur besar. Semakin besar jumlah yang diberikan kepada debitur, harus semakin intensif pengawasan kredit dilakukan.

Ruang Lingkup Program Pengawasan

Ruang lingkup program pengawasan kredit tersebut di atas, minimal harus mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Pengawasan terhadap setiap kredit yang akan diberikan. Apakah pemberian kredit tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang digariskan dalam kebijaksanaan pokok penyaluran kredit dan ketentuan perbankan yang berlaku,
2. Pemantauan terhadap perkembangan mutu kredit yang telah diberikan c.q perkembangan kegiatan usaha debitur. Pemantauan tersebut dilakukan baik secara langsung, dengan peninjauan di lapangan, maupun secara tidak langsung, yaitu dengan mempelajari laporan kegiatan usaha dan kondisi keuangan yang disampaikan oleh debitur secara periodik,
3. Pengawasan terhadap setiap kredit yang akan diberikan kepada debitur yang terkait dengan bank dan debitur besar tertentu. Apakah pemberian kredit tersebut telah sesuai dengan ketentun yang digariskan dalam kebijaksanaan pokok penyaluran kredit dan ketentuan yang digariskan oleh pemerintah c.q bank sentral,
4. Memantau gejala awal kredit bermasalah dari para debitur yang kemampuan dan kesediaannya melunasi kredit mulai diragukan.
5. Mengevaluasi apakah penilaian terhadap tingkat kolektibilitas kredit yang telah disalurkan telah sesuai dengan kriteria yang ditentuan oleh bank sentral,
6. Pembinaan terhadap debitur bermasalah yang masih ada harapan untuk diselamatkan,
7. Memantau pelaksanaan dokumentasi dan administrasi kredit yang telah disalurkan.
8. Memantau perkembangan cadangan penghapusan kredit.

Pengendalian Intern Perkreditan

Untuk menunjang keberhasilan program pengawasan kredit, bank harus mempunyai sistem pengendalian intern yang cukup memadai. Sistem pengendalian intern kredit tersebut harus dapat diterapkan dalam semua tahap proses penyaluran kredit, mulai dari saat permintaan kredit diajukan oleh debitur sampai kredit dibayar lunas. Sistem pengendalian intern harus memberikan peluang kepada bank untuk melakukan pengawasan ganda, terutama pada tahap-tahap penyaluran kredit yang mengandung kerawan penyalahgunaan oleh semua pihak yang terkait dalam pemberian kredit atau dapat merugikan bank.

Sistem pengendalian intern juga harus memberikan kemungkinan bank untuk mendeteksi sedini mungkin terjadinya pelanggaran atas kebijaksanaan pokok penyaluran kredit dan prosedur pelaksanaan pemberian kredit.

Penanggung Jawab Pengawasan Kredit

Pengawasan adalah fungsi manajemen yang terpisah dari fungsi manajemen lainnya yaitu operasional. Fungsi pengawasan dan operasional tidak dapat dirangkap oleh satu orang atau satu bagian. Penggabungan fungsi manajemen yang berbeda itu akan menimbulkan kerancuan dan memberikan peluang bagi para pejabat yang tidak kuat imannya untuk melakukan tindakan kolusi dan korupsi. Oleh karena itu, kedua fungsi manajemen tersebut harus dipegang oleh pejabat atau bagian yang berbeda.

Dalam kaitannya dengan penerapan prinsip manajemen ini dalam organisasi bank, dewan direksi wajib mengangkat pejabat tertentu atau membentuk bagian tersendiri (sesuai dengan besar kecilnya organisasi bank) yang secara khusus diserahi tugas dan tanggung jawab pengawasan kredit.

Walaupun pejabat atau bagian pengawasan tersebut secara organisatoris mempunyai tugas dan tanggung jawab yang terpisah dari bagian operasional, namun dalam melakukan tugasnya harus tetap memelihara kerja sama yang serasi dengan bagian kredit dan pemasaran serta account officer.

Secara periodik, bagian pengawasan kredit menyampaikan laporan tentang mutu kredit yang disalurkan secara keseluruhan kepada dewan direksi. Apabila terjadi penurunan mutu portofolio kredit-kredit tertentu, bagian pengawasan harus menyampaikan sebab-sebab terjadinya penurunan mutu portofolio kredit tersebut, serta mengajukan saran tentang tindakan apa yang harus diambil oleh dewan direksi.

Apabila terdapat gejala tentang adanya pemberian kredit yang menyimpang dari ketentuan kebijaksanaan pokok penyaluran kredit atau ketentuan perbankan yang berlaku, bagian pengawasan juga harus berani menyampaikan pendapatnya.
Selanjutnya, secara periodik bagian ini menyampaikan laporan tentang jumlah tunggakan bunga dari para debitur bermasalah, atau jumlah tunggakan bunga yang dikapitalisir kepada dewan direksi.

Tidak kalah pentingnya, setiap saat terjadi penyimpangan atau pelanggaran atas ketentuan kebijaksanaan pokok penyaluran kredit atau ketentuan perbankan yang berlaku oleh pejabat bank, bagian pengawasan kredit harus melaporkannya kepada dewan direksi. Dalam laporan tersebut, bagian pengawasan kredit wajib mencantumkan saran perbaikan atau tindakan korektif yang perlu diambil oleh dewan direksi.

Dokumentasi dan Administrasi Kredit yang Sehat

Dokumen dan administrasi kredit merupakan salah satu bahan masukan penting bagi bank untuk melakukan pengawasan kredit. Oleh karena itu, agar bank dapat melakukan pengawasan kredit secara efektif, mereka harus membina dokumentasi dan administrasi kredit yang sehat. Semua dokumen kredit penting, seperti sertifikat tanah, akte pemberian hak tanggungan dan sebagainya harus dipastikan keabsahannya.

Disamping harus memiliki satu arsip dokumen kredit yang lengkap dan absah, setiap portofolio harus diadministrasikan secara benar, tertib, lengkap dan akurat sehingga disamping dapat dipergunakan sebagai bahan masukan dalam pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan debitur dan kredit, juga mengandung unsur pengendalian intern.

Seperti halnya bagian pengawasan kredit, agar dapat berjalan secara efektif, kegiatan dokumentasi dan administrasi kredit harus dikerjakan oleh satu unit atau bagian tersendiri.

====$$$$====

Tuesday, February 8, 2011

PENGHAPUSAN KREDIT BERMASALAH

Oleh: Sudjendro/Pemerhati Perbankan

Kredit bermasalah akan menurunkan profitabilitas dan likuiditas keuangan bank kreditur. Kredit bemasalah dalam jumlah besar bahkan dapat mengganggu kelangsungan usaha bank. Untuk memperkecil risiko gangguan usaha karena rongrongan kredit bermasalah, bank perlu membentuk dana cadangan penghapusan kredit. Di kebanyakan negara di dunia, bank sentral atau lembaga pemerintah yang ditunjuk, mewajibkan bank membentuk cadangan penghapusan kredit tersebut. Oleh karena itu, bilamana bank mengalami kerugian karena menghadapi kredit macet, mereka dapat menutup kerugian tersebut dengan dana sendiri. Dengan demikian, kegiatan mereka masih tetap berjalan seperti biasa sehingga tidak menimbulkan kepanikan para nasabah.

Ditinjau dari segi perpajakan, penghapusan kredit macet dapat meringankan beban pajak yang harus dibayar bank. Hal itu disebabkan karena penghapusan kredit macet dapat dibebankan pada biaya operasional bank.

Walaupun keputusan tentang jumlah cadangan penghapusan kredit ditangan bank masing-masing, mereka tidak bebas sepenuhnya dalam menentukan kebijaksanaan penghapusan kredit. Bank sentral masing-masing negara mempunyai wewenang untuk mengatur bank dalam menentukan kebijaksanaan penghapusan ini. Salah satu hal yang penting diatur oleh bank sentral adalah jumlah minimum cadangan penghapusan kredit bermasalah yang harus dimiliki bank. Disamping itu, otoritas perpajakan juga akan menentukan jumlah maksimum penghapusan kredit bermasalah yang dapat dibebankan pada biaya operasional bank.

Bagi kreditur, penghapusbukuan kredit bermasalah mempunyai dampak yang menguntungkan, yaitu membersihkan neraca dari aktiva produktif yang tidak menghasilakan dan kecil kemungkinannya untuk dikoleksi.
Di samping itu, di mata bank sentral nilai kesehatan usaha mereka akan menjadi lebih baik dibanding dari sebelumnya.

Walaupun demikian penghapusan kredit bermasalah dapat menurunkan CAR bank yang bersangkutan.

Bagi debitur, penghapusan kredit bermasalah tidak berarti penghapusan kewajiban kewajiban mereka untuk melunasi kredit dan bunga tertunggak. Penagihan kredit bermasalah yang telah dihapusbukukan oleh bank tetap dilakukan terus. Bank masih tetap mempunyai hak tagih terhadap debitur sampai kredit lunas.

Agar pelaksanaan penghapusbukuan kredit bermasalah dapat dilakukan dengan baik, setiap bank wajib mempunyai kebijaksanaan tertulis tentang hal itu. Kebijaksanaan penghapusbukuan kredit tersebut harus memuat ketentuan tentang penetapan pejabat bank yang berwenang menentukan jumlah cadangan penghapusan kredit, dan menetapkan penghapusbukuan kredit bermasalah yang sedang berjalan. Kebijaksanaan tertulis tersebut juga harus memuat ketentuan pengadministrasian kredit yang dihapusbukukan dan upaya penagihan kredit itu.

Bank sentral akan mengawasi pelaksanaan penghapusbukuan kredit bermasalah. Di Indonesia, untuk mengawasi penghapusbukuan kredit macet, Bank Indonesia dapat melakukannya baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam hal banyak kejadian, dengan usaha yang tekun dan penuh kesabaran, bank dapat berhasil menagih kembali kredit yang telah dihapusbukukan, walaupun tidak mencapai seluruh jumlah kredit dan bunga tertunggak. Agar dapat melakukan penagihan kembali kredit yang telah dihapusbukukan dengan baik, bank harus mengadministrasikan kredit tersebut dengan baik pula. Perkembangan kredit dan debitur bermasalah tersebut harus dimonitor terus menerus, dan secara periodik dievaluasi kemungkinan keberhasilan penagihan kembali.

====$$$$====

Friday, February 4, 2011

MENARIK KEMBALI KREDIT DARI DEBITUR BERMASALAH

Oleh: Sudjendro/Pemerhati Perbankan

Upaya menarik kembali kredit dari debitur dilakukan bilamana upaya penyelamatan kredit tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Upaya tersebut bukan suatu pekerjaan yang mudah, karena membutuhkan ketekunan dan keuletan bank serta banyak pertimbangan segi hukum; disamping seringkali juga memakan biaya yang cukup besar.

Pelaksanaan penarikan kembali kredit macet dapat dilakukan melalui prosedur di luar proses pengadilan, maupun melalui proses pengadilan. Upaya menarik kembali kredit di luar proses pengadilan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain:

a) Penagihan langsung
b) Mempergunakan bantuan biro jasa penagihan
c) Melalui iklan panggilan
d) Menagihkan kepada penjamin kredit
e) Bekerjasama dengan kreditur lain dan
f) Eksekusi Jaminan

Penarikan kembali kredit melalui proses pengadilan dapat dilakukan melalui Pengadilan Negeri dan PUPN/BUPLN (untuk kredit macet bank pemerintah)
Oleh karena cara penarikan kembali kredit melalui proses pengadilan cenderung pada eksekusi jaminan kredit, maka cara kedua ini lazim digolongkan pada cara pendekatan penyelesaian melalui eksekusi jaminan atau collateral approach.

Penagihan kredit macet melalui Pengadilan Negeri dilakukan dengan cara mengajukan gugatan kepada debitur melalui Pengadilan Negeri. Cara lain adalah meminta bantuan Pengadilan Negeri untuk melakukan sita eksekusi atas harta yang dijaminkan serta melelangnya. Cara yang kedua dapat dilakukan bilamana harta jaminan secara hukum telah dijaminkan secara sempurna, misalnya dengan pemasangan hak tanggungan.

Walaupun terbuka kemungkinan bank pemerintah menyelesaikan kasus kredit bermasalah mereka melalui Pengadilan Negeri, biasanya kasus tersebut melalui PUPN/BPUPLN.

Langkah pertama yang diambil PUPN setelah menerima pengalihan hak tagih kredit dari bank adalah mencari kesepakatan dengan debitur tentang jumlah kredit yang terhutang dan kewajiban debitur untuk melunasinya. Selanjutnya, kesepakatan tersebut dituangkan dalam surat pernyataan bersama. Apabila kemudian debitur tidak memenuhi isi surat pernyataan bersama, PUPN dapat melakukan penagihan kredit secara langsung dengan surat paksa, penyitaan dan pelelangan harta jaminan.

Untuk melakukan penagihan kredit bermasalah secara berhasil, dibutuhkan keahlian dan pengetahuan khusus di bidang perbankan dan hukum. Oleh karena itu akan banyak manfaatnya apabila dalam menangani kredit bermasalah itu, bank mau mempertimbangkan untuk memanfaatkan jasa pengacara.

====$$$$====

UPAYA PENYELAMATAN KREDIT BERMASALAH

Oleh: Drs. Sudjendro, MSi / Pemerhati Perbankan

Kasus kredit bermasalah tidak pernah diinginkan oleh debitur maupun kreditur. Oleh karena itu, apabila kasus itu berakhir muncul ke permukaan, reaksi pertama debitur maupun kreditur adalah rasa tidak senang.

Bentuk reaksi apapun yang keluar karena munculnya kasus kredit bermasalah, pimpinan bank harus berusaha menyelamatkan kredit tersebut secara maksimal. Apabila upaya penyelamatan tadi tidak membawa hasil, bank harus menarik kembali kredit itu dari debitur. Apabila pimpinan bank memperoleh bukti lengkap yang menyatakan terdapat unsur penipuan atau bentuk kriminal yang lain dalam kasus kredit bermasalah yang sedang dihadapi, hendaknya mereka segera menyerahkan kasus tersebut kepada yang berwajib.

Upaya penyelamatan kredit dilakukan oleh bank apabila mereka melihat masih ada kemungkinan memperbaiki kondisi operasi usaha dan keuangan debitur serta masih menguasai harta jaminan yang berharga. Upaya penyelamatan itu perlu direncanakan dengan baik agar dapat diharapkan berhasil. Sasaran jangka pendek dan menengah yang ingin dijangkau dengan upaya penyelamatan kredit wajib diformulasikan dengan baik. Strategi untuk mencapai sasaran perlu disusun secara professional.

Hingga dewasa ini, terdapat tiga macam pendekatan yang berbeda tentang bagaimana cara terbaik untuk menangani upaya penyelamatan kredit bermasalah. Pendapat pertama menyerahkan upaya penyelamatan kredit kepada account officer, pendapat kedua menyerahkan kepada kepada tim eksekutif, pendapat ketiga tergantung skala bank kreditur dan masalah yang sedang dihadapi.

Kredit bermasalah menuntut upaya penanganan yang serius dan cepat. Oleh karena itu, setelah rencana dan strategi penyelamatan tersususn rapi, bank harus segera melakukan kontak dengan debitur.

Pertemuan pertama dalam rangkaian kontak upaya penyelamatan kredit sangat penting peranannya dalam kontak-kontak selanjutnya. Dengan demikian , pertemuan pertama itu harus disiapkan secara professional.

Untuk memperoleh keyakinan bahwa operasi bisnis dan kondisi keuangan perusahaan debitur masih dapat diperbaiki, perlu diadakan studi khusus guna menilai prospek masa depan mereka. Bilamana perlu, bank dan debitur mengundang perusahaan konsultan atau pakar yang telah berpengalaman dalam penanganan kasus kredit bermasalah, untuk membantu mereka melakukan studi itu. Upaya penylamatan kredit dapat dilakukan dengan tiga macam cara yaitu:

1. Penjadwalan kembali pelunasan kredit
2. Penataan kembali pelunasan kredit
3. Reorganisasi dan rekapitalisasi

Cara peyelamatan mana pun yang dipilih, rencana penyelamatan tadi harus dituangkan dalam satu dokumen tertulis yang disetujui oleh pimpinan bank. Selanjutnya, pelaksanaan upaya penyelamatan tersebut harus dimonitor secara ketat. Laporan tertulis tentang perkembangan hasil yang dapat dicapai secara tetap disampaikan oleh para pelaksana upaya penyelamatan kepada pimpinan bank. Dengan demikian, apabila pimpinan bank mengetahui bahwa hasil yang dicapai ternyata jauh dari sasaran yang telah direncanakan, dapat dilakukan tindakan koreksi seperlunya.

Tindakan penyelamatan lainnya, seperti pengambilalihan aset debitur/agunan yang diambil alih (AYDA). AYDA adalah aktiva yang diperoleh bank, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah tidak memenuhi kewajibannya kepada bank. Proses pengalihan atas agunan dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu:
  • 1. Mekanisme lelang;
  • 2. Mekanisme penjualan di bawah tangan dengan persetujuan dari pemilik agunan.
Mekanisme lelang barang agunan milik debitur dapat dilakukan oleh bank tanpa persetujuan debitur. Sebelum dilakukannya pengalihan, baik dengan cara lelang maupun di bawah tangan dengan menggunakan surat kuasa untuk menjual dari pemilik agunan, bank melakukan penilaian terhadap aset untuk mendapatkan nilai wajar terhadap aset yang akan dialihkan tersebut. Penilaian tersebut dapat dilakukan oleh penilai internal bank atau menggunakan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).

====$$$$====

ANALISIS KREDIT SEBAGAI PENANGKAL KREDIT BERMASALAH

Oleh: Sudjendro/Pemerhati Perbankan

Tujuan analilsis kredit adalah menilai mutu permintaan kredit baru atau tambahan yang diajukan kepada bank. Dengan demikian, analisis kredit berperan sebagai saringan pertama untuk menangkal munculnya kredit bermasalah. Dalam analisis kredit, bank mengevaluasi prospek kemampuan dan kesediaan calon debitur melunasi kredit yang akan diberikan serta memenuhi ketentuan perjanjian kredit yang lain.

Selama proses kegiatan analisis kredit, account officer, yang ditugaskan menilai mutu permintaan kredit, akan mengevaluasi enam faktor yang mempengaruhi kemampuan dan kesediaan debitur melunasi kredit. Keenam faktor itu adalah:

1. Wewenang untuk meminjam
2. Watak (character) calon debitur
3. Kemampuan mereka menghasilkan pendapatan/laba
4. Kondisi fasilitas produksi yang mereka miliki
5. Jaminan kredit yang disediakan
6. Prospek perkembangan ekonomi dan bidang usaha bisnis mereka.

Seberapa tajam analisis kredit dilakukan akan ditentukan oleh jumlah kredit yang diminta, jangka waktu kredit, jenis dan jumlah nilai jaminan, reputasi calon debitur dan hubungan bank dengan debitur sebelumnya.

Sebagai bahan masukan analisis kredit, bank membutuhkan berbagai macam data primer dan sekunder, tergantung dari jumlah kredit yang diminta. Apabila diperlukan, account officer harus melakukan survai lapangan guna mengumpulkan data dan informasi primer dan sekunder tadi.

Keterangan tentang wewenang untuk menjamin dalam kasus kredit korporasi dapat diperoleh dengan jalan mempelajari akte pendirian (dan akte perubahannya), anggaran dasar dan anggaran rumah tangga perusahaan debitur.

Gambaran tentang waktak calon debitur antara lain dapat diperoleh dengan jalan mempelajari daftar riwayat hidup mereka, serta kesan yang diperoleh dari hasil wawancara dengan para nara sumber yang pernah bergaul atau berhubungan bisnis dengan calon debitur.

Kemampuan calon debitur menghasilkan pendapatan dan laba dapat diperoleh dengan jalan mengevaluasikebijaksanaan pemasaran produk mereka serta hasil yang telah mereka peroleh selama dua atau tiga tahun terakhir, maupun prospek perkembangan pasar dan pemasaran hasil produksi selama jangka waktu perjanjian kredit yang akan datang. Evaluasi kebijaksanaan pemasaran tadi mencakup kebijaksanaan produk, harga distribusi dan promosi penjualan.

Tujuan utama evaluasi kondisi fasilitas produksi yang dimiliki oleh calon debitur adalah menilai seberapa jauh fasilitas produksi tadi dapat menghasilan produk yang kompetitif. Seperti halnya evaluasi pasar dan pemasaran produk, dalam evaluasi kondisi fasilitas produksi, para account officer harus melakukan pengamatan di lapangan.

Harta jaminan merupakan sumber dana kedua untuk melunasi kredit yang terhutang debitur. Fokus evaluasi jaminan kredit adalah keabsahan kepemilikan harta yang dijaminkan dan taksasi nilai serta status harta tersebut. Adapun tujuan taksasi nilai harta jaminan adalah untuk menghitung jumlah net collateral margin.

Evaluasi prospek masa depan ekonomi, pasar dan bidang usaha calon debitur dilakukan dengan jalan analisis berbagai macam data ekonomi, industri pasar dan pemasaran produk, baik yang sekunder maupun primer. Oleh karena itu, apabila diperlukan, untuk mengevaluasi prospek perkembangan ekonomi dan bidang usaha calon debitur selama masa perjanjian kredit yang akan datang, account officer perlu mengadakan pengamatan di lapangan.

Disamping evaluasi keenam macam faktor yang mempengaruhi kemampuan dan kesediaan calon debitur melunasi kredit yang mereka utang, bank juga ingin mengetahui gambaran likuiditas keuangan calon debitur selama masa perjanjian kredit. Untuk mengetahui hal tersebut, calon debitur wajib menyerahkan proyeksi arus kas tadi erat hubungannya dengan kondisi keuangan mereka pada masa sebelumnya, maka bank juga perlu untuk menganalisa kondisi keuangan calon debitur selama dua atau tiga tahun sebelumnya. Analisis kondisi keuangan tadi dapat dilakukan dengan jalan menganalisis neraca dan perkiraan laba/rugi perusahaan calon debitur dengan menggunakan rasio keuangan sebagai tolokukurnya.

====$$$$====

GEJALA AWAL KREDIT BERMASALAH


Oleh: Drs. Sudjendro, Msi / Pemerhati Perbankan

Mutu kredit tidak dapat berantakan begitu saja tanpa memberi tanda-tanda sebelumnya. Dengan demikian, kredit bermasalah juga tidak muncul secara mendadak. Pada sebagaian besar kejadian, berbagai macam gejala penurunan mutu kredit secara bertahap telah bermunculan jauh sebelum kasus kredit bermasalah itu sendiri muncul ke atas permukaan. Para bankir yang secara cermat memonitor perkembangan mutu kredit mereka dapat mendeteksi gejala-gejala tersebut. Selanjutnya mereka dapat memutuskan tindakan apa yang harus diambil untuk menyelamatkan dana yang telah mereka kreditkan kepada debitur.

Berbagai jenis gejala bakal munculnya kredit bermasalah itu dapat digolongkan menjadi tujuh kelompok, yaitu:

(a) Penyimpangan dari ketentuan kredit,
(b) Penurunan kondisi keuangan debitur,
(c) Penyajian laporan dan bahan masukan kepada bank yang lain secara tidak benar,
(d) Menurunnya sikap kooperatif debitur,
(e) Penurunan mutu dan nilai barang jaminan yang diserahkan kepada bank,
(f) Tingginya frekuensi pergantian tenaga inti perusahaan debitur dan
(g) Timbul problem keluarga atau problem debitur yang serius.

Contoh penyimpangan dari ketentuan kredit yang serius adalah penunggakan pembayaran bunga dan/atau angsuran kredit. Penyimpangan dari ketentuan kredit biasanya berkaitan erat dengan penurunan kondisi keuangan debitur.

Gejala kredit bermasalah yang ke dua itu dapat dideteksi dengan jalan melakukan analisis daftar keuangan debitur yang tersimpan dalam arsip dokumen kredit.

Penyampaian laporan keuangan secara tidak benar merupakan gejala bahwa debitur sedang menghadapi kesulitan operasional dan/atau keuangan dan ingin menyembunyikan dari pengetahuan bank. Kemungkinan perusahaan yang salah urus atau debitur tidak jujur menyajikan laporan keuangan secara tidak benar, jauh lebih besar dari perusahaan biasa.

Menurunnya sikap kooperatif debitur akan mempersulit bank memonitor perkembangan mutu kredit. Seperti halnya penyampaian laporan keuangan secara tidak benar, sikap kurang kooperatif tadi biasanya muncul karena debitur ingin menyembunyikan informasi yang dapat merugikan hubungan baik mereka dengan bank.

Nilai dan mutu barang jaminan dapat turun apabila kondisi keuangan debitur memburuk. Dalam keadaan keuangan perusahaan kurang menguntungkan, debitur dapat menjual harta perusahaan tertentu yang dijaminkan, atau tidak mampu memperbaiki jumlah nilai atau mutu jaminan yang menurun.

Kondisi operasional dan keuangan perusahaan yang menurun dapat juga ditandai oleh frekuensi pergantian tenaga inti yang cepat. Hal ini disebabkan karena kesulitan operasional dan keuangan perusahaan menimbulkan suasana kerja yang kurang menguntungkan.

Problem pribadi debitur yang dapat menjadi sebab timbulnya kredit bermasalah adalah perceraian, kematian, pemborosan, perkawinan baru, sakit berkepanjangan dan gangguan batin.

Langkah pertama yang harus diambil bank setelah mereka mengetahui adanya gejala yang mengarah ke kredit bermasalah adalah menilai tingkat kegawatan gejala tadi.
Salah satu cara untuk menilai tingkat kegawatan gejala itu adalah melakukan verifikasi hasil analisis laporan keuangan ke dalam dan ke luar.

Di samping itu, bank perlu mengadakan reevaluasi kapasitas bayar sumber dana intern pelunasan kredit. Adapun sumber dana intern pelunasan kredit itu adalah laba sesudah pajak dan barang jaminan.

Setelah bank berhasil mengumpulkan berbagai macam data dan informasi yang bersangkutan dengan gejala yang muncul serta menganalisisnya, mereka dapat memutuskan mendiskusikan hal itu dengan debitur. Ada kemungkinan debitur bersedia membicarakannya, ada pula kemungkinan debitur tidak bersedia atau berusaha menghindari pertemuan dengan bank. Apabila debitur kooperatif dan mau bekerja sama secara jujur dan professional, ada kemungkinan bank dapat membantu mereka menunjukkan jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi.

Debitur tidak bersedia membicarakan dengan bank tentang kesulitan keuangan mereka karena mereka takut diminta segera melunasi kredit yang terhutang atau karena mereka tidak jujur dan tidak bertanggung jawab.

Tergantung dari hasil pendekatan bank kepada debitur, mereka dapat memutuskan untuk membawa problem operasional dan keuangan debitur bermasalah mereka ke bank lain yang memberikan kredit kepada debitur yang sama. Hasil pendekatan bank kepada bank yang lain dapat bermanfaat bagi ke dua belah pihak, tetapi dapat pula memperparah keadaan yang sudah kurang menguntungkan tersebut.


PENGARUH MUTU KREDIT TERHADAP KEBERHASILAN OPERASI BANK

Kegiatan usaha yang lazim dilakukan oleh bank dalam menanamkan dana mereka adalah pemberian kredit, investasi surat berharga, mendanai transaksi perdagangan internasional, penempatan dana pada bank lain, dan penyertaan modal saham. Semua kegiatan menanam dana tersebut di atas tidak terlepas dari risiko tidak terbayar kembali, baik sebagian maupun seluruhnya. Di sebagian besar negara di dunia ini, dari seluruh dana bank yang ditanamkan pada keempat jenis usaha tersebut di atas, kredit merupakan bagian terbesar dari harta operasional dan harta bank secara keseluruhan. Jumlah dana bank di berbagai negara yang ditanam dalam kredit, berkisar 50 sampai 75% dari seluruh dana yang mereka miliki.

Kredit merupakan sumber pendapatan dan keuntungan bank yang terbesar. Kemampuan bank mengelola kredit yang mereka salurkan mempunyai pengaruh besar terhadap stabilitas dan keberhasilan usaha mereka secara keseluruhan. Di lain pihak, kredit merupakan jenis usaha bank yang besar risikonya. Dalam jangka waktu yang pendek, kredit dapat mendatangkan kerugian besar.

Usaha bank menekan risiko kerugian yang timbul karena penyaluran kredit adalah dengan menjaga mutu kredit yang mereka berikan. Tanggung jawab menjaga mutu kredit tersebut dipikul oleh dewan direksi. Dalam pelaksanaan sehari-hari, oleh dewan direksi, tanggung jawab itu dapat didelegasikan kepada para eksekutif bank yang bersangkutan, termasuk para anggota komite kredit, direktur kredit & pemasaran, manajer/kepala bagian administrasi kredit, internal auditor dan account officers atau loan officers.

Salah satu bahan masukan penting yang diperlukan oleh para eksekutif bank untuk memonitor trend perkembangan mutu kredit yang telah disalurkan adalah arsip dokumen kredit. Peranan arsip tadi tampak lebih menonjol pada saat bank menghadapi kasus kredit bermasalah; apalagi bila mereka harus melakukan tindakan hukum guna menyelesaikan kasus kredit itu. Arsip dokumen kredit disiapkan oleh para account officers dan disusun tersendiri untuk setiap portfolio kredit yang telah diberikan.
Kredit yang merosot mutunya akan berkembang menjadi kredit bermasalah. Dalam kredit bermasalah, debitur mengingkari janji mereka membayar bunga dan/atau hutang pokoknya.
Berdasarkan kolektibilitasnya, Bank Indonesia membagi kredit bermasalah di Indonesia menjadi empat golongan, yaitu kredit dalam perhatian khusus, kredit kurang lancar, kredit diragukan dan kredit macet.

Kredit bermasalah muncul karena tiga sebab yaitu faktor intern bank kreditur, berbagai macam kelemahan atau etika tidak baik debitur, serta berbagai macam faktor ekstern yang membawa dampak kurang menguntungkan terhadap jalanannya usaha debitur.
Faktor intern bank yang menjadi penyebab munculnya kredit bermasalah adalah analisis kelayakan permintaan kredit yang kurang profesional, serta pengawasan dan administrasi kredit yang lemah, campur tangan pemegang saham yang berlebihan dalam pengambilan keputusan pemberian kredit dan pengikatan jaminan yang kurang sempurna.
Dari sisi debitur, yang dapat mendorong kredit kepada kasusu kredit bermasalah ialah salah urus dan kuarang pengalaman pemilik perusahaan dalam bidang usaha yang mereka jalankan, menjadi sebab utama merosotnya mutu kredit.

Selanjutnya, faktor extern yang dapat mempengaruhi kemampuan debitur membayar bunga dan melunasi kreditnya adalah perkembangan ekonomi dan bisnis yang kurang menguntungkan, bencana alam, dan dampak peraturan pemerintah yang kurang mendukung.
Kredit bermasalah dalam jumlah besar dapat membawa dampak yang kurang menguntungkan terhadap kesehatan operasi bank pemberi kredit, dunia perbankan pada umumnya dan kehidupan ekonomi/moneter negara.

Sudjendro/Pemerhati Perbankan

==========================================