Menu Atas

BankSyariah     BaselCommittee     PerangMataUang     Ekonomi     Kontak     About Us     Video    

Saturday, January 8, 2011

iB (ai-Bi) MELAJU DENGAN STRATEGI BARU

Tahun 2011 menjadi tahun yang menghadirkan banyak peluang bagi industri perbankan syariah untuk melakukan ekspansi pasar. Tingkat awareness masyarakat yang semakin tinggi terhadap sistem perbankan alternatif yang berlogo iB (dibaca ai-Bi, islamic banking) ini, sebagai hasil dari sosialisasi secara intensif oleh regulator selama dua tahun belakangan, pada tahun 2011 memasuki tahap siap untuk mencoba berbagai kelebihan produk dan jasa yang ditawarkan oleh bank-bank syariah. Ibarat buah yang mulai ranum, antusiasme masyarakat ini siap dipetik oleh bank-bank syariah yang jeli dan sigap menangkap peluang pasar. Dan jika itu terjadi, maka tidak mustahil iB akan melaju lebih kencang lagi dari pertumbuhannya selama ini yang telah sangat impresif mencapai 46,3% pertahun! (rata-rata pertumbuhan lima tahun terakhir).

Salah satu kuncinya adalah implementasi secara serius strategi baru yang telah dirumuskan dalam sebuah Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah, yang merupakan strategi pemasaran hasil racikan Bank Indonesia berdasarkan analisis mendalam terhadap peta target market perbankan syariah di Indonesia dan berbagai faktor strategis. Berdasarkan Grand Strategy tersebut, ada 6 program utama yang perlu dilakukan oleh bank syariah untuk dapat melakukan ekspansi pasar secara lebih luas.

1. Program Pencitraan Baru

Program pencitraan baru ini merupakan prioritas utama dalam memperluas pasar, sehingga perbankan syariah Indonesia memiliki citra baru yang bisa menarik semua golongan masyarakat tanpa terkecuali, yang menginginkan keuntungan kedua belah pihak (bank dan nasabah), dengan atribut yang lebih menekankan ke substansi/universal values sebagai “rahmatan lil ‘alamin” atau kemanfaatan bagi semua. Bank syariah perlu melakukan positioning sebagai “perbankan yang paling menguntungkan” yang ditunjang oleh berbagai keunikan khas iB seperti: produk yang lebih beragam dengan skema lebih variatif, transparan-adil bagi bank dan nasabah, SDM yang kompeten dalam keuangan & beretika, IT system yg update & user friendly, serta fasilitas ahli investasi, keuangan dan syariah. Positioning dan diferensiasi tersebut perlu dilakukan untuk menampilkan branding baru iB sebagai “lebih dari sekedar bank”

2. Program Pengembangan Segmen Pasar

Dengan memahami profil segmen pasar yang dihadapi, tentunya bank syariah akan dapat merumuskan strategi pemasaran yang lebih tepat demi menjangkau pasar yang lebih luas. Pemetaan target market sebagaimana dimuat dalam Grand Strategy mengungkapkan, terdapat 5 segmen pasar berdasarkan orientasi perbankan dan profil psikografisnya: mereka yang sangat mengutamakan - ikutan, mereka yang mengutamakan benefit seperti kepraktisan transaksi dan kemudahan akses, mereka yang menggunakan bank syariah sebagai sarana pembayaran gaji dan transaksi bisnis, dan segmen mereka yang mengutamakan penggunaan jasa bank konvensional. Melalui riset pasar dalam Grand Strategy juga terungkap, bahwa pengguna perbankan syariah di Indonesia cenderung berprilaku pragmatis, P otret nasabah perbankan di Indonesia umumnya sudah memahami keunggulan masing-masing perbankan dimana perbankan konvensional unggul dalam jaringan yang luas dan memiliki fasilitas layanan yang handal dan luas. Di sisi lain, perbankan syariah, unggul karena karakteristik produk, sehingga mereka ingin menggunakan kedua jenis perbankan tersebut. Dengan kata lain, profil nasabah perbankan di Indonesia sesungguhnya didominasi oleh mereka yang mengutamakan benefit seperti kepraktisan transaksi dan kemudahan akses.

3. Program pengembangan produk.

Untuk merealisasikan pencitraan industri perbankan syariah yang “lebih dari sekedar bank”, bank syariah perlu terus melakukan inovasi produk dan dapat mengeksplorasi kekayaan skema keuangan yang variatif dan sekaligus bisa menunjukkan perbedaan dengan perbankan konvensional. Beberapa inisiatif yang dapat dilakukan oleh bank syariah, misalnya melalui mirroring produk dan jasa bank syariah internasional serta mendorong bank syariah milik asing untuk membawa produk-produk yang sukses di luar negeri ke Indonesia. Program ini menjadi keharusan agar keunikan perbankan syariah dibandingkan dengan perbankan konvensional lebih terlihat jelas.

4. Program peningkatan pelayanan.

Dari survey tingkat kepuasan nasabah, sebagaimana dimuat dalam Grand Strategy, terungkap bahwa kualitas layanan perbankan syariah lebih baik di core benefit yang ditawarkan. Sedangkan dilihat dari tingkat kepuasan terhadap pinjaman bank konvensional dan bank syariah, kualitas perbankan syariah lebih baik hampir di semua aspek. Dengan demikian, maka peningkatan kualitas layanan mesti terus dilakukan di area yang terkait keunikan maupun bersifat umum. Dengan mengadopsi konsep service excellency berdasarkan dimensi RATER (Reliability, Assurance, Tangible, Emphaty, Responsiveness).

5. Program komunikasi yang universal dan terbuka.

Berbagai upaya promosi dan komunikasi oleh bank syariah kepada masyarakat perlu mencermati spektrum peta segmen pasar yang ingin dijangkaunya, sehingga dapat menjaga citra baru perbankan syariah Indonesia yang modern, terbuka bagi semua segmen masyarakat (inklusif), dan melayani seluruh golongan msyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Berbagai program promosi perlu dilakukan dengan tetap mengacu kepada positioning iB sebagai perbankan yang saling menguntungkan kedua belah pihak (bank dan nasabah), dan mendukung branding iB sebagai “lebih dari sekedar bank”.

Tentu saja kita sadari bahwa keberhasilan bank syariah untuk melakukan ekspansi pasar juga tergantung kepada banyak sekali faktor, baik faktor internal maupun eksternal termasuk kondisi perekonomian makro serta dukungan perundang-undangan terkait perbankan syariah semisal UU Pajak Pertambahan Nilai yang masih ditunggu kehadirannya. Namun demikian, apa yang telah dirumuskan dalam Grand Strategy setidaknya telah memberikan strategi baru dari perspektif marketing. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa pemahaman yang lebih akurat terhadap peta serta profil segmen pasar, kemampuan untuk menyediakan produk-produk yang inovatif sesuai kebutuhan keuangan masyarakat modern, peningkatan pelayanan dan jaringan, kemampuan mengkomunikasikan kelebihan-kelebihan produk iB dalam bahasa yang mudah dipahami oleh semua golongan masyarakat, serta positioning khas iB sebagai”lebih dari sekedar bank” merupakan hal-hal yang perlu dikuasai oleh industri perbankan syariah apabila ingin meningkatkan jumlah nasabahnya yang jumlahnya saat ini masih berkisar 5 juta nasabah.


Oleh : Ramzi A. Zuhdi
Anggota Komite Perbankan Syariah
Direktur Direktorat Perbankan Syariah, Bank Indonesia

Friday, January 7, 2011

Ikhtisar Undang -Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

PENDAHULUAN

Undang undang No. 21 tahun 2008 yang disahkan pada tanggal 16 Juli
2008 memiliki beberapa ketentuan umum yang menarik untuk dicermati.
Ketentuan umum dimaksud (Pasal 1) adalah merupakan sesuatu yang baru dan
akan memberikan implikasi tertentu, meliputi:

1. Istilah Bank Perkreditan Rakyat yang diubah menjadi Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah. Perubahan ini untuk lebih menegaskan adanya perbedaan
antara kredit dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

2. Definisi Prinsip Syariah. Dalam definisi dimaksud memiliki dua pesan penting
yaitu (1) prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dan (2) penetapan
pihak/lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa yang menjadi dasar
prinsip syariah.

3. Penetapan Dewan Pengawas Syariah sebagai pihak terafiliasi seperti halnya
akuntan publik, konsultan dan penilai.

4. Definisi pembiayaan yang berubah secara signifikan dibandingkan definisi
yang ada dalam UU sebelumnya tentang perbankan (UU No. 10 tahun 1998).
Dalam definisi terbaru, pembiayaan dapat berupa transaksi bagi hasil,
transaksi sewa menyewa, transaksi jual beli, transaksi pinjam meminjam dan
transaksi sewa menyewa jasa (multijasa).

ASAS, TUJUAN DAN FUNGSI

Asas dari kegiatan usaha perbankan syariah adalah prinsip syariah,
demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Yang dimaksud dengan
berasaskan prinsip syariah adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung riba,
maisir, gharar, objek haram dan menimbulkan kezaliman. Sedangkan yang
dimaksud dengan berasaskan demokrasi ekonomi adalah kegiatan usaha yang
mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan dan kemanfaatan.
Tujuan dari perbankan syariah adalah menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional(Pasal 2 dan Pasal 3).

Fungsi dari perbankan syariah, selain melakukan fungsi penghimpunan
dan penyaluran dana masya rakat, juga melakukan fungsi sosial yaitu (1) dalam
bentuk lembaga baitul maal yang menerima dana zakat, infak, sedekah, hibah
dan lainnya untuk disalurkan ke organisasi pengelola zakat, dan (2) dalam bentul
lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang yang menerim a wakaf uang
dan menyalurkannya ke pengelola (nazhir) yang ditunjuk (Pasal 4).

PERIZINAN, BENTUK BADAN HUKUM, ANGGARAN DASAR DAN
KEPEMILIKAN

Pihak - pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau
UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usa ha sebagai Bank Syariah atau
Unit Usaha Syariah (UUS) dari Bank Indonesia. Dalam rangka memperoleh izin
usaha dimaksud Bank Syariah harus memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya
tentang susunan organisasi dan kepengurusan; permodalan; kepemilikan;
keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan kelayakan usaha. Sedangkan Bank
Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank dengan izin Bank Indonesia
(Pasal 5).

Bank Syariah yang telah mendapatkan izin usaha setelah berlakunya UU
No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ini, wajib mencantumkan
dengan jelas kata ”syariah” setelah kata ”bank” atau nama bank . Sedangkan
UUS yang telah mendapatkan izin usaha setelah berlakunya UU No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah ini, wajib mencantumkan dengan jelas frase
”Unit Usaha Syariah” setelah nama Bank pada kantor UUS yang bersangkutan
(Pasal 5).

Selain mendirikan Bank Syariah atau UUS baru, pihak-pihak yang ingin
melakukan kegiatan usaha perbankan syariah dapat melakukan pengubahan
(konversi) bank konvensional menjadi Bank syariah. Pengubahan dari Bank
Syariah menjadi bank konvensional merupakan hal yang dilarang dalam UU ini
(Pasal 5).Disamping itu, pendirian Bank Umum Syariah baru dapat dilakukan
dengan cara pemisahan (spin off) UUS dari induknya yang dilakukan secara
sukarela (Pasal 16) atau dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban (Pasal 68).
Bank Syariah atau UUS dapat membuka kantor cabang dan /atau kantor
di bawah kantor cabang. Pembukaan kantor cabang hanya dapat dilakukan
setelah memperoleh izin dari Bank Indonesia. Sedangkan pembukaan kantor di
bawah kantor cabang cukup dilaporkan kepada Bank Indonesia dan dapat
segera beroperasi setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia (Pasal
6).

Pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor
lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan UUS hanya dapat dilakukan
dengan izin Bank Indonesia . Sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
tidak diizinkan membuka kantor cabang, kantor perwakilan dan jenis kantor
lainnya di luar negeri (Pasal 6).

Bentuk badan hukum Bank Syariah harus berupa perseroan terbatas
(Pasal 7) dimana anggaran dasarnya selain memenuhi persyaratan sebagaimana
diatur dalam ketentuan perundang-undangan, juga memuat hal-hal mengenai pengangkatan anggota direksi dan komisaris serta penyelenggaran Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang mencakup penetapan tugas manajemen,remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan,penunjukkan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia (Pasal 8).

Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh warga negara Indonesia (WNI) dan/atau badan hukum Indonesia, WNI dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing (WNA) dan/atau badan hukum asing secara kemitraan, atau Pemerintah daerah. Sedangkan BPRS hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh WNI dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya WNI, pemerintah daerah, atau gabungan dua pihak atau lebih dari WNI, badan hukum Indonesia dan pemerintah daerah (Pasal 9).

Bank Syariah hanya dapat menerbitkan saham atas nama. Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan perundang-undangan di bidang pasar moda l (Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14).

Setiap upaya penggabungan, peleburan dan pengambilalihan Bank Syariah wajib mendapat izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Hasil penggabungan dan peleburan antara Bank Syariah dengan bank lainnya diwajibkan untuk menjadi Bank Syariah (Pasal 17).

JENIS DAN KEGIATAN USAHA, KELAYAKAN PENYALURAN DANA DAN,LARANGAN BAGI BANK SYARIAH DAN UUS

Bank Syariah yang terdiri dari BUS dan BPRS (Pasal 18) serta UUS, pada dasarnya melakukan kegiatan usaha yang sama dengan bank konvensional yaitu melakukan penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat disamping penyediaan jasa keuangan lainnya. Perbedaannya adalah seluruh kegiatan usaha bank syariah dan UUS didasarkan pada prinsip syariah. Implikasinya, disamping harus selalu sesuai de ngan prinsip hukum Islam juga adalah karena dalam prinsip syariah memiliki berbagai variasi akad yang akan menimbulkan variasi produk yang lebih banyak dibandingka n produk bank konvensional (Pasal 19).

Dalam kaitan dengan hal tersebut di atas, maka setiap pihak dilarang untuk melakukan kegiatan penghimpunan dana berdasarkan prinsip syariah tanpa izin Bank Indonesia (Pasal 22). Sedangkan di sisi lain, kegiatan penyaluran dana berdasarkan prinsip syariah harus dilakukan secara berhati-hati melalui penilaian secara seksama, agar bank syariah dan UUS memiliki keyakinan atas kemauan dan kemampuan nasabah dalam menyelesaikan kewajibannya sesuai akad serta keyakinan atas ke sesuaian dengan prinsip syariah (Pasal 23).

Secara umum bank syariah dan UUS dilarang untuk melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah, melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di lantai bursa serta kegiatan perasuransian kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah (Pasal 24 dan Pasal 25). Bagi BPRS , selain larangan di atas, juga dilarang untuk membuka produk simpanan giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran serta kegiatan valuta asing kecuali penukaran valuta asing (Pasal 25).

Seluruh kegiatan usaha bank syariah dan UUS pada dasarnya wajib sesuai dengan prinsip syariah yang difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia. Penuangan prinsip syariah yang telah difatwakan dimaksud ke dalam Peraturan Bank Indonesia, dilakukan oleh Bank Indonesia yang dibantu oleh Komite Perbankan Syariah (KPS). KPS sendiri dibentuk oleh Bank Indonesia yang terdiri dari unsur Bank Indonesia, Departemen Agama dan unsur masyarakat lainnya yang memiliki keahlian di bidang syariah (Pasal 26).

PEMEGANG SAHAM PENGENDALI, DEWAN KOMISARIS, DEWAN
PENGAWAS SYARIAH, DIREKSI DAN TENAGA KERJA ASING


Secara umum para calon Pemegang Saham Pengendali (PSP), Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah (DPS), Direksi dan Tenaga Kerja Asing (TKA) wajib memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan Bank Indonesia. Termasuk di dalam pemenuhan persyaratan dimaksud adalah dinyatakan lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan, kecuali bagi calon DPS dan TKA yang akan menjabat sebagai konsultan. Uji kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai integritas, kompetensi dan aspek keuangan (Pasal 27).

Pemegang saham pengendali yang dinyatakan tidak lulus dalam uji
kemampuan dan kepatutan, diwajibkan untuk menurunkan kepemilikan
sahamnya menjadi paling banyak 10% (se puluh persen). Apabila penurunan
dimaksud tidak dipenuhi maka hak suara PSP tidak diperhitungkan dalam RUPS,
tidak diperhitungkan dalam penghitungan kuorum, hanya dapat memperoleh
10% dari dividen (90% dividen akan dibayarkan setelah penurunan kepemilikan
dilakukan) serta diumumkan kepada publik di 2 media massa yang mempunyai
peredaran luas (Pasal 27).

BUS wajib memiliki 1 (satu) orang direktur kepatuhan yang bertugas
untuk memastikan kepatuhan BUS terhadap pelaksanaan ketentuan Bank
Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya . Bagi anggota dewan
komisaris dan direksi yang sedang menjabat dan dinyatakan tidak lulus uji
kemampuan dan kepatutan, maka diwajibkan untuk melepaskan jabatannya
(Pasal 29 dan Pasal 30).

Bank Syariah dan UUS wajib membentuk DPS yang bertugas untuk
memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank
agar sesuai dengan Prinsip Syariah. DPS diangkat oleh RUPS atas rekomendasi
Majelis Ulama Indonesia (Pasal 32).

TATA KELOLA, PRINSIP KEHATI-HATIAN, DAN PENGELOLAAN RISIKO PERBANKAN SYARIAH

Secara umum dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Bank Syariah dan
UUS wajib memenuhi tata kelola perusahaan yang baik (good corporate
governance), prinsip kehati-hatian dan pengelolaan risiko. Selain itu, Bank
Syariah dan UUS diwajibkan pula untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah
dan perlindungan nasabah termasuk kewajiban untuk menjelaskan kepada
Nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan
transaksi nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah (Pasal 34, Pasal 35, Pasal
38 dan Pasal 39).

Tata kelola yang baik (good corporate governance) mencakup prinsip
transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran
dalam menjalankan kegiatan operasional bank. Dalam pelaksanaannya Bank
Syariah dan UUS diwajibkan untuk menyusun prosedur internal yang mengacu
pada prinsip -prinsip tersebut di atas (Pasal 34).

Dalam penerapan prinsip kehati-hatian, Bank Syariah dan UUS diwajibkan
untuk menempuh cara-cara yang tidak merugikan kepentingan nasabah
deposan, yaitu antara lain wajib mentaati ketentuan mengenai Batas Maksimum
Pemberian Pembiayaan (BMPP). Besarnya BMPP adalah 30% dari modal Bank
Syariah bagi nasabah penerima fasilitas atau sekelompok nasabah penerima
fasilitas, termasuk kepada perusahaan dalam kelompok yang sama dengan Bank
Syariah atau UUS. Sedangkan bagi pihak -pihak antara lain pemegang saham
yang memiliki 10% atau lebih, anggota dewan komisaris dan keluarga, anggota
dewan direksi dan keluarga, pejabat bank, perusahaan yang didalamnya
terdapat kepentingan pihak tersebut di atas, besarnya BMPP adalah 20% (Pasal
36 dan Pasal 37).

Terkait risiko pembiayaan dimana nasabah penerima fasilitas tidak dapat
memenuhi kewajibannya, maka Bank Syariah dan UUS dapat membeli sebagian
atau seluruh agunan, baik melalui maupun di luar pelelangan yang wajib
diselesaikan (dijual) oleh Bank dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. Selain dapat
dibeli oleh bank, agunan juga dapat dikuasakan oleh pemilik agunan kepada
bank untuk dijual (Pasal 40).

RAHASIA BANK

Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat kepada Bank maka Bank
dan Pihak terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya serta nasabah investor dan investasinya (Pasal 41).
Pengecualian atas rahasia bank berlaku dalam hal:
kepentingan penyidikan pidana perpajakan (Pasal 42)
kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 43)
kepentingan perkara perdata antara bank dan nasabah (Pasal 45)
kepentingan tukar menukar informasi antarbank (Pasal 46)
adanya permintaa n, persetujuan, atau kuasa tertulis dari nasabah penyimpan
atau nasabah investor (Pasal 47).
Adanya ahli waris yang sah untuk memperoleh keterangan mengenai
simpanan nasabah (Pasal 48).

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pembinaan dan Pengawasan terhadap Bank Sya riah dan UUS dilakukan
oleh Bank Indonesia (Pasal 50). Pembinaan dan Pengawasan dilakukan dengan
antara lain mewajibkan Bank Syariah dan UUS untuk memelihara tingkat
kesehatan bank yang meliputi kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas,
rentabillitas, solvabilitas, kualitas manajemen serta aspek lainnya yang
berhubungan dengan usaha Bank Syariah dan UUS. Kualitas manajemen
mencakup kapabilitas dalam aspek keuangan, kepatuhan terhadap prinsip
syariah dan prinsip manajemen Islami (Pasal 51).
Dalam rangka pelaksanaan pembinaan dan pengawasan, maka :

Bank syariah wajib menyampaikan segala keterangan dan penjelasan
mengenai usahanya kepada Bank Indonesia termasuk memberikan
kesempatan bagi pemeriksaan atas buku-buku, berkas-berkas dan dokumen
yang dimiliki ole h bank (Pasal 52).

Bank Indonesia berwenang untuk memeriksa dan mengambil data/dokumen
dan keterangan dari setiap tempat yang terkait dengan Bank dan dari setiap
pihak yang memiliki pengaruh terhadap bank (Pasal 52).

Bank Indonesia berwenang memerintahkan Bank memblokir rekening
tertentu, baik rekening simpanan maupun rekening pembiayaan (Pasal 52).

Bank Indonesia dapat menugaskan kantor akuntan publik atau pihak lainnya
untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan (Pasal 53).


Apabila Bank Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usahanya, Bank Indonesia berwenang melakukan tindakan
pengawasan, antara lain (Pasal 54):

membatasi kewenangan RUPS/komisaris/direksi dan pemegang saham;

meminta pemegang saham menambah modal;

meminta pemegang saham mengganti anggota dewan, komisaris dan/atau
direksi Bank Syariah;

meminta Bank Syariah menghapusbukukan penyaluran, dana yang macet
dan memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan modalnya;

meminta Bank Syariah melakukan penggabungan atau peleburan dengan
Bank Syariah lain;

meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih
seluruh kewajibannya;

meminta Bank Syariah menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian
kegiatan Bank Syariah kepada pihak lain; dan/atau

meminta Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau
kewajiban Bank Syariah kepada pihak lain.

Selanjutnya, apabila tindakan penyehatan tersebut di atas tidak dapat
membantu penyehatan bank maka Bank Indonesia menyerahkan penangannya
kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk diselamatkan atau tidak.
Apabila LPS menyatakan tidak diselamatkan, maka BI atas permintaan LPS
mencabut izin usaha Bank dan menyerahkannya kepada LPS untuk penanganan
lebih lanjut (Pasal 54).

PENYELESAIAN SENGKETA

Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama atau di luar Peradilan Agama apabila dalam
akad telah diperjanjikan sebelumnya sepanjang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah (Pasal 55).

SANKSI ADMINISTRATIF

Sanksi administratif dapat dikenakan oleh Bank Indonesia kepada Bank
Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah,
direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang
memiliki UUS dalam hal:

menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam
menjalankan usaha atau tugasnya (Pasal 56).
tidak memenuhi kewajibannya untuk menjaga kerahasian bank (Pasal 5 7).

Tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan keterangan untuk
kepentingan penyidikan pidana perpajakan dan untuk kepentingan peradilan
dalam perkara pidana (Pasal 57).

Sanksi administratif yang ditetapkan meliputi:

denda uang;

teguran tertulis;

penurunan tingkat kesehatan Bank Syariah dan UUS;

pelarangan turut serta dalam kegiatan kliring;

pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik kantor cabang tertentu maupun
Bank Syariah dan UUS secara keseluruhan;

pemberhentian pengurus Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang
memiliki UUS, dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti
sementara sampai RUPS mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan
Bank Indonesia;

pencantuman anggota pengurus, pegawai, dan pemegang saham Bank
Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dalam daftar
orang tercela di bidang perbankan; dan/atau
pencabutan izin usaha (Pasal 58).

KETENTUAN PIDANA

Tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana dalam UU ini
meliputi:

setiap orang yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah/UUS atau
penghimpunan dana berdasarkan prinsip syariah tanpa izin BI, diancam
dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun
serta denda paling sedikit Rp10 miliar dan paling banyak Rp200 miliar (Pasal
59).

setiap orang yang memberikan keterangan mengenai keuangan nasabah
kepada pejabat/polisi/jaksa/hakim atau penyidik la in tanpa izin tertulis dari BI,
diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 4
tahun serta denda paling sedikit Rp10 miliar dan paling banyak Rp200 miliar
(Pasal 60).

Pengurus bank, pegawai Bank Syariah/UUS atau pihak terafiliasi lainnya yang
memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan diancam dengan pidana
penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 4 tahun serta denda paling
sedikit Rp4 miliar dan paling banyak Rp8 miliar (Pasal 60).

Pengurus bank atau pegawai Bank Syariah/UUS yang dengan sengaja tidak
memberikan keterangan yang wajib dipenuhi untuk penyidikan dan kepentingan peradilan perkara pidana diancam dengan pidana penjara
paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun serta denda paling sedikit
Rp4 miliar dan paling banyak Rp15 miliar (Pasal 61).

Pengurus bank atau pegawai Bank Syariah/UUS yang dengan sengaja tidak
memberikan keterangan yang wajib dipenuhi untuk penyidikan dan
kepentingan peradilan perkara pidana diancam dengan pidana penjara
paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun serta denda paling sedikit
Rp4 miliar dan paling banyak Rp15 miliar (Pasal 61).

Pengurus bank atau pegawai Bank Syariah/UUS yang dengan sengaja tidak
menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan berkala lainnya
dan/atau tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah
yang wajib dipenuhi kepada BI diancam dengan pidana penjara paling
singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun serta denda paling sedikit Rp5
miliar dan paling banyak Rp100 miliar (Pasal 62).

Pengurus bank atau pegawai Bank Syariah/UUS yang lalai tidak
menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan berkala lainnya
dan/atau tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah
yang wajib dipenuhi kepada BI diancam dengan pidana penjara paling
singkat 1 tahun dan paling lama 2 tahun serta denda paling sedikit Rp1
miliar dan paling banyak Rp2 miliar (Pasal 62).

Pengurus bank atau pegawai Bank Syariah/UUS yang dengan sengaja
membuat atau menyebabkan pencatatan palsu, menghilangkan atau tidak
memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan, mengubah,
mengaburkan, menyembunyikan, menghapus atau menghilangkan suatu
pencatatan dalam pembukuan atau laporan, dokumen, atau laporan
kegiatan usaha diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan
paling lama 15 tahun serta denda paling sedikit Rp10 miliar dan paling
banyak Rp200 miliar (Pasal 63).

Pengurus bank atau pegawai Bank Syariah/UUS yang dengan sengaja
meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui menerima suatu
imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga
untuk kekuntungan pribadi/keluarga, dalam rangka mendapatkan bagi
orang lain uang muka, bank garansi, fasilitas penyaluran dana, membeli
surat wesel, surat promes, cek, memberi persetujuan bagi orang lain untuk
menarik dana yang melebihi batas penyalurannya diancam dengan pidana
penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 8 tahun serta denda paling
sedikit Rp5 miliar dan paling banyak Rp100 miliar (Pasal 63).

Pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah
yang diperlukan untuk mentaati ketentuan dalam UU ini diancam dengan
pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 8 tahun serta denda
paling sedikit Rp5 miliar dan paling banyak Rp100 miliar (Pasal 64).

Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh pengurus atau pegawai
Bank Syariah/UUS untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang
mengakibatkan Bank Syariah/UUS tidak melaksanakan langkah-langkah yang
diperlukan untuk mentaati UU ini diancam dengan pidana penjara paling
singkat 7 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling sedikit Rp10
miliar dan paling banyak Rp200 miliar (Pasal 65).

Anggota direksi dan pegawai Bank Syariah/UUS yang dengan sengaja
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan UU ini, menghalangi
pemerik saan yang dilakukan komisaris atau kantor akuntan public yang
ditugasi dewan komisaris, menyalurkan dana atau fasilitas penjaminan
dengan melanggar ketentuan yang berlaku yang mengakibatkan kerugian
bagi Bank Syariah/UUS atau menyebabkan keuangan bank Syariah/UUS tidak
sehat, dan/atau tidak melakukan langkah-langkah untuk memastikan
ketaatan Bank Syariah/UUS terhadap ketentuan BMPK, diancam dengan
pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta denda
paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp2 miliar (Pasal 66).

Anggota direksi dan pegawai Bank Syariah/UUS yang dengan sengaja
melakukan penyalahgunaan dana nasabah, Bank Syariah/UUS, diancam
dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 8 tahun serta
denda paling sedikit Rp2 miliar dan paling banyak Rp4 miliar (Pasal 66).

KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP

Bank Syariah/UUS yang telah memiliki izin usaha pada saat UU ini berlaku
dinyatakan telah memperoleh izin usaha dan wajib menyesuaikan dengan
ketentuan dalam UU ini paling lama 1 tahun sejak UU ini mulai berlaku (Pasal
67).

Bagi UUS yang nilai asetnya telah mencapai 50% dari total aset bank
induknya atau 15 tahun sejak berlakunya UU ini maka wajib melakukan
pemisahan UUS menjadi Bank Umum Syariah (Pasal 68).
Segala ketentuan mengenai Perbankan Syariah yang diatur dalam UU
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 10 Tahun 1998 beserta peraturan pelaksanaannya dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini (Pasal 69).

MENGEMBANGKAN USAHA DENGAN PEMBIAYAAN MODAL KERJA DARI BANK SYARIAH

Bank syariah menyediakan Pembiayaan Modal Kerja iB bagi anda yang membutuhkan tambahan modal kerja, baik untuk keperluan membeli bahan baku, pembayaran biaya produksi, pengadaan barang dan jasa, hingga membantu pengusaha dalam membiayai penyelesaian proyek yang didapatnya. Jenis kontrak pembiayaan modal kerja iB yang umum ditawarkan dapat dipilih sesuai kebutuhan anda: bisa menggunakan skema jual beli (murabahah) ataupun dengan skema kemitraan bagi hasil (mudharabah dan musyarakah).

Sebagai contoh, seorang pengusaha jasa konstruksi yang memiliki reputasi baik memperoleh proyek pembuatan jembatan dari pemerintah daerah dengan tiga kali termin pembayaran (termin I Rp.200 juta, termin II Rp.400 juta dan termin III Rp.800 juta) sehingga total nilai proyek sebesar Rp.1,4 milyar (proporsi pembayaran per termin adalah 1 : 2 : 4). Total modal yang dibutuhkan adalah Rp.1 milyar rupiah, sementara ia hanya memiliki modal Rp.400 juta. Maka ia dapat mengajukan penambahan modal kerja kepada bank syariah sebesar Rp.600 juta. Bank syariah akan melihat kebutuhan kontraktor, apakah lebih membutuhkan kas atau barang.

Apabila kebutuhan kontraktor lebih kepada kebutuhan akan barang modal, maka bank syariah akan memberikan pembiayaan berbasis jual beli, misalnya untuk pembelian material atau bahan baku bangunan. Bank syariah kemudian akan menetapkan total margin keuntungan jual beli, misalnya sebesar Rp.80 juta. Sehingga total pembiayaan menjadi sebesar Rp.680 juta yang akan diangsur oleh pengusaha selama 2 tahun dengan nilai angsuran tetap perbulannya sebesar Rp.28,3 juta (yaitu Rp.680 juta dibagi 24 bulan). Nilai angsuran ini tetap hingga masa perjanjian berakhir, sehingga sangat memudahkan perencanaan keuangan.

Apabila kontraktor tersebut lebih membutuhkan kas maka bank syariah akan memberikan pembiayaan berbasis bagi hasil berupa pemberian tambahan modal sejumlah Rp.600 juta yang dijadikan penyertaan bank syariah dalam proyek tersebut dengan menggunakan akad kemitraan bagi hasil (musyarakah). Dalam hal ini kontraktor dan bank syariah bermitra dalam bentuk kongsi penyertaan modal. Misalnya disepakati nisbah bagi hasil adalah 40% untuk pengusaha dan 60% untuk bank syariah. Misalnya juga disepakati nilai proyeksi keuntungan total sebesar Rp.400 juta. Maka ilustrasi pembayaran untuk pembiayaan modal kerja iB oleh pengusaha adalah sebagai berikut:


Ingin usaha anda berkembang dan semakin besar? Cobalah datang ke bank syariah, dan temukan layanan pembiayaan modal kerja iB yang akan membantu anda mewujudkan rencana pengembangan bisnis anda. Mudah dan Memahami anda.

- Sudjendro -

Thursday, January 6, 2011

Agunan Pembiayaan

Jaminan pemberian kredit adalah keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi pembiayaan sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dengan demikian bank dilarang untuk memberikan pembiayaan kepada siapapun tanpa jaminan pemberian kredit sebagaimana tersebut di atas.
Jaminan pemberian kredit diperoleh bank melalui penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha debitur.

Agunan adalah jaminan material, surat berharga, garansi risiko yang disediakan oleh debitur untuk menanggung pembayaran kembali suatu pembiayaan, apabila debitur tidak dapat melunasi pembiayaan sesuai dengan yang diperjanjikan.
Agunan dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan pembiayaan yang bersangkutan, dan barang lain, surat berharga atau garansi risiko yang ditambahkan sebagai agunan tambahan.

Dasar Hukum

a. Agunan diperlukan untuk memperkecil risiko-risiko yang merugikan Bank serta untuk melihat kemampuan nasabah dalam menanggung pembayaran kembali atas hutang yang diterima dari Bank.

"Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungngan yang dipegang oleh yang berpiutang. Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya), dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya......."


b. Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah SAW pernah membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan hutang dan beliau memberikan baju besinya sebagai jaminan (HR. Bukhari, Muslim dan Nasa'i).

c. Dari Abu Huraihah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda; "Siapa yang bangkrut (muflis), lalu krediturnya mendapatkan barangnya sendiri pada si bangkrut, maka kreditur itu lebih berhak untuk menarik kembali barangnya itu daripada lainnya" (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i dan Ibnu Majah).

d. Berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 tahun 1998 ditetapkan bahwa setiap pembiayaan yang diberikan harus didasari atas keyakinan bahwa nasabah mampu untuk mengembalikan kewajiban sesuai dengan yang diperjanjikan. Untuk mendukung keyakinan tersebut ditetapkan ketentuan bahwa setiap pembiayaan yang diberikan kepada nasabah wajib didukung adanya jaminan.

Maksud dan Tujuan Penguasaan/Pengikatan Agunan

a. Guna memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dengan barang-barang agunan tersebut bilamana nasabah bercidera janji, yaitu tidak bisa membayar kembali hutangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.

b. Menjamin agar nasabah berperan dan/atau turut serta dalam transaksi yang dibiayai, sehingga dengan demikian kemungkinan nasabah untuk meninggalkan usaha/proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah, atau minimum kemungkinan untuk berbuat demikian diperkecil.

c. Memberi dorongan kepada nasabah untuk memenuhi Akad Pembiayaan, khususnya mengenai pembayaran kembali (pelunasan) sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui, agar nasabah tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.

Kriteria Barang Agunan
Suatu barang yang dapat dijadikan agunan harus memenuhi kriteria sbb.:
Mempunyai nilai ekonomis dalam arti dapat dinilai dengan uang dan memiliki nilai/harga yang relatif stabil (valuability), serta dapat dengan mudah dijadikan uang melalui transaksi jual beli (marketability).

Dapat dinilai secara umum dan pasti, bukan merupakan penilaian yang dipengaruhi faktor subjektifitas tinggi (ascertainability). Contoh barang yang tidak memiliki kriteria tersebut misalnya lukisan, barang antik, benda pusaka atau sarang burung walet.
Mempunyai nilai yuridis (legality) dalam arti memiliki bukti kepemilikan yang sah dan kuat berdasarkan hukum positif yang berlaku, serta dapat dipindah-tangankan kepemilikannya (transferability).

Jenis Agunan

a. Berdasarkan sifatnya, agunan dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

1) Agunan Kebendaan
Penyerahan hak oleh nasabah/pihak ketiga atas barang-barang miliknya kepada bank guna dijadikan agunan atas fasilitas pembiayaan yang diperoleh nasabah, dimana bank mempunyai hak untuk mengambil pelunasan atas fasilitas pembiayaannya dari hasil penjualan barang tersebut apabila nasabah cidera janji.

Jenis agunan kebendaan terdiri dari:

a) Benda tidak bergerak
Yang dimaksud dengan barang tidak bergerak adalah tanah dan barang-barang lain yang karena sifatnya oleh undang-undang dinyatakan sebagai benda tidak bergerak.
Contoh: tanah & bangunan, pesawat terbang, kapal laut dengan bobot 20 M3 ke atas.

b) Benda bergerak
Yang dimaksud barang bergerak adalah semua barang yang secara pisik dapat dipindahtangankan kecuali apabila karena ketentuan undang-undang barang tersebut ditetapkan sebagai barang tidak bergerak.
Contoh : kendaraan bermotor, peralatan kantor, persediaan barang, perhiasan, mesin-mesin, kapal laut dengan bobot di bawah 20 M3, tagihan, surat berharga (marketable securities), serta deposito (cash collateral).

2) Agunan Non-Kebendaan
Adalah suatu perjanjian penanggungan hutang di mana pihak ke III mengikatkan diri untuk memenuhi kewajiban debitur dalam hal debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya (wan prestasi) kepada bank.

a) Jenis Agunan Non-Kebendaan

(1) Personal Guarantee/Borgtocht
Adalah jaminan seseorang pihak ke III yang menjamin pembayaran kembali kepada bank sekiranya yang berhutang (debitur) tidak mampu (gagal) dalam memenuhi kewajiban-kewajiban finansiilnya terhadap kreditur (bank).

Personal Guarantee/borgtocht ini bersifat umum, artinya mengakibatkan seluruh harta kekayaan si penjamin (guarantor) menjadi jaminan pembiayaan debitur yang bersangkutan dengan mengesampingkan ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata dan telah ada persetujuan suami/isteri.

(2) Corporate Guarantee
Adalah jaminan perusahaan (pihak ke III) yang menjamin pembayaran kembali kepada bank sekiranya yang berhutang (debitur) tidak mampu (gagal) dalam memenuhi kewajiban-kewajiban finansiilnya terhadap kreditur (bank).
Jaminan perorangan/jaminan perusahaan diatur dalam pasal 1820 s/d 1850 KUH Perdata.

Tuesday, January 4, 2011

SEKILAS BANK SYARIAH

'Perbankan syariah' atau 'Perbankan Islam' adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.

Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik Muslim mahupun bukan Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, Syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebahagian penganut Islam, Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan di dunia ini, termasuk kegiatan di bidang perbankan.

Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.

Prinsip syariah dalam perbankan adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.

Berikut ini adalah gambaran sekilas tentang Bank Syariah :





































MENGHITUNG BAGI HASIL BANK SYARIAH

Berbagi hasil dalam bank syariah menggunakan istilah nisbah bagi hasil, yaitu proporsi bagi hasil antara nasabah dan bank syariah. Misalnya, jika customer service bank syariah menawarkan nisbah bagi hasil Tabungan iB sebesar 65:35. Itu artinya nasabah bank syariah akan memperoleh bagi hasil sebesar 65% dari return investasi yang dihasilkan oleh bank syariah melalui pengelolaan dana-dana masyarakat di sektor riil. Sementara itu bank syariah akan mendapatkan porsi bagi hasil sebesar 35%. Bagaimana menghitung nisbah bagi hasil tersebut?

Untuk produk pendanaan/simpanan bank syariah, misalnya Tabungan iB dan Deposito iB, penentuan nisbah bagi hasil dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: jenis produk simpanan, perkiraan pendapatan investasi dan biaya operasional bank. Hanya produk simpanan iB dengan skema investasi (mudharabah) yang mendapatkan return bagi hasil. Sementara itu untuk produk simpanan iB dengan skema titipan (wadiah), return yang diberikan berupa bonus.

Pertama-tama dihitung besarnya tingkat pendapatan investasi yang dapat dibagikan kepada nasabah. Ekspektasi pendapatan investasi ini dihitung oleh bank syariah dengan melihat performa kegiatan ekonomi di sektor-sektor yang menjadi tujuan investasi, misalnya di sektor properti, perdagangan, pertanian, telekomunikasi atau sektor transportasi. Setiap sektor ekonomi memiliki karakteristik dan performa yang berbeda-beda, sehingga akan memberikan return investasi yang berbeda-beda juga. Sebagaimana layaknya seorang investment manager, bank syariah akan menggunakan berbagai indikator ekonomi dan keuangan yang dapat mencerminkan kinerja dari sektoral tersebut untuk menghitung ekspektasi /proyeksi return investasi. Termasuk juga indikator historis (track record) dari aktivitas investasi bank syariah yang telah dilakukan, yang tercermin dari nilai rata-rata dari seluruh jenis pembiayaan iB yang selama ini telah diberikan ke sektor riil. Dari hasil perhitungan tersebut, maka dapat diperoleh besarnya pendapatan investasi dalam bentuk equivalent rate- yang akan dibagikan kepada nasabah misalnya sebesar 11%.

Selanjutnya dihitung besarnya pendapatan investasi yang merupakan bagian untuk bank syariah sendiri, guna menutup biaya-biaya operasional sekaligus memberikan pendapatan yang wajar. Besarnya biaya operasional tergantung dari tingkat efisiensi bank masing-masing. Sementara itu, besarnya pendapatan yang wajar antara lain mengacu kepada indikator-indikator keuangan bank syariah yang bersangkutan seperti ROA (Return On Assets) dan indikator lain yang relevan. Dari perhitungan, diperoleh bahwa bank syariah memerlukan pendapatan investasi -yang juga dihitung dalam equivalent rate- misalnya sebesar 6 %.

Dari kedua angka tersebut, maka kemudian nisbah bagi hasil dapat dihitung. Porsi bagi hasil untuk nasabah adalah sebesar: [11% dibagi (11%+6%)] = 0.65 atau sebesar 65%. Dan bagi hasil untuk bank syariah sebesar: [6% dibagi (11%+6%)] = 0.35 atau sebesar 35%. Maka nisbah bagi hasilnya kemudian dapat dituliskan sebagai 65:35.

Tentu saja dalam prakteknya nasabah iB tidak perlu terlalu pusing dengan perhitungan njlimet bagi hasil semacam ini. Masyarakat hanya tinggal menanyakan berapa rate indikatif dari Tabungan iB atau Deposito iB yang diminatinya. Rate indikatif ini adalah nilai equivalent rate dari pendapatan investasi yang akan dibagikan kepada nasabah, yang dinyatakan dalam persentase misalnya 11% atau 8% atau 12%. Jadi masyarakat dengan cepat dan mudah dapat menghitung berapa besar keuntungan yang akan diperolehnya dalam menabung sekaligus berinvestasi di bank syariah. Sangat mudah bukan?

- Sudjendro -

APA SIH iB (ai-Bi)...??

iB (baca ai-Bi) singkatan dari Islamic Banking dipopulerkan sebagai penanda identitas bersama industri perbankan syariah di Indonesia yang diresmikan sejak 2 Juli 2007. Penggunaan identitas bersama ini bertujuan agar masyarakat dengan mudah dan cepat mengenali tersedianya layanan jasa perbankan syariah di seluruh Indonesia, sebagaimana masyarakat modern yang sudah sangat akrab dengan terminologi-terminologi iphone, ipod, ibank.

Layanan jasa perbankan syariah semakin mudah diperoleh masyarakat, dengan mengenali logo iB yang dipasang di bank-bank syariah ataupun bank-bank konvensional terkemuka yang menyediakan layanan syariah. Sebagaimana mudahnya masyarakat mengenali logo Visa atau Master Card untuk layanan kartu kredit di semua merchant yang memasang logo tersebut di pintu masuk atau di meja kasir.

Logo iB (ai-Bi) merupakan penanda identitas industri perbankan syariah di Indonesia, yang merupakan kristalisasi dari nilai-nilai utama system perbankan syariah yang modern, transparan, berkeadilan, seimbang dan beretika yang selalu mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan kemitraan. Dengan semakin banyaknya bank yang menawarkan produk dan jasa perbankan syariah, kehadiran logo iB (ai-Bi) akan memudahkan masyarakat untuk mengenali secara cepat dan menemukan kelebihan layanan perbankan syariah untuk kebutuhan transaksi keuangannya.
Jadi iB (ai-Bi) perbankan syariah itu bukan merujuk kepada nama bank tertentu. iB (ai-Bi) merefleksikan kebersamaan seluruh bank-bank syariah di Indonesia untuk melayani seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali, yang sampai saat ini terdiri dari 5 Bank Umum Syariah (BUS), 26 Unit Usaha Syariah (UUS), 132 Bank Perkreditan rakyat Syariah (BPRS) dan 1.492 kantor cabang bank konvensional yang menyediakan layanan syariah (office channeling) yang siap melayani semua lapisan masyarakat di seluruh Indonesia.

Masyarakat dapat menemukan layanan iB antara lain di bank-bank sebagai berikut : Bank Bukopin Syariah, Bank Danamon Syariah, Bank DKI Syariah, Bank Ekspor Indonesia Syariah, Bank Mega Syariah, bank Muamalat Indonesia, Bank Niaga Syariah, Bank Permata Syariah, Bank Syariah BRI, Bank Syariah Bukopin, Bank syariah Mandiri, BII Syariah, BNI Syariah, BRI Syariah, BTN Syariah, BTPN Syariah, HSBC Syariah, BPD Syariah, BPR Syaria

PERBANKAN SYARIAH: LEBIH TAHAN KRISIS GLOBAL

Sebagai sebuah negara yang perekonomiannya terbuka, Indonesia tak luput dari imbas dinamika pasar keuangan global. Termasuk pula imbas dari krisis keuangan yang berawal dari Amerika Serikat, yang menerpa negara-negara lainnya, dan kemudian meluas menjadi krisis ekonomi secara global yang dirasakan sejak semester kedua tahun 2008. International Monetary Fund (IMF) memperkirakan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,9% pada 2008 menjadi 2,2% pada tahun 2009. Perlambatan ini tentu saja pada gilirannya akan mempengaruhi kinerja ekspor nasional, yang pada akhirnya berdampak kepada laju pertumbuhan ekonomi nasional. Kemudian bagaimana dampak guncangan sistem keuangan global ini terhadap industri perbankan syariah di Indonesia?

Eskposure pembiayaan perbankan syariah yang masih lebih diarahkan kepada aktivitas perekonomian domestik, sehingga belum memiliki tingkat integrasi yang tinggi dengan sistem keuangan global dan belum memiliki tingkat sofistikasi transaksi yang tinggi; adalah dua faktor yang dinilai telah 2 bulan pertama di tahun 2009 jaringan pelayanan bank syariah mengalami penambahan sebanyak 45 jaringan kantor. Hingga saat ini sudah ada 1492 kantor cabang bank konvensional yang memiliki layanan syariah. Secara geografis, penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini telah menjangkau masyarakat di lebih dari 89 kabupaten/kota di 33 propinsi.

Kinerja pertumbuhan pembiayaan bank syariah tetap tinggi sampai posisi Februari 2009 dengan kinerja pembiayaan yang baik (NPF, Net Performing Financing di bawah 5%). Penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah per Februari 2009 secara konsisten terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 33,3% pada Februari 2008 menjadi 47,3% pada Februari 2009. Sementara itu, nilai pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp.40,2 triliun.

Sekali lagi industri perbankan syariah menunjukkan ketangguhannya sebagai salah satu pilar penyokong stabilitas sistem keuangan nasional. Dengan kinerja pertumbuhan industri yang mencapai rata-rata 46,32% dalam lima tahun terakhir, iB (baca ai-Bi, Islamic Bank) di Indonesia diperkirakan tetap akan mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi pada tahun 2009.

Perbankan syariah nasional pada tahun 2009 diperkirakan masih akan berada dalam fase high-growth-nya. Proyeksi pertumbuhan optimis pada 2009 diperkirakan mencapai 75% dengan pencapaian total aset Rp. 87 triliun, sebagaimana ditetapkan dalam Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah yang telah dirumuskan oleh Bank Indonesia.

Optimisme tersebut didasarkan kepada asumsi, bahwa faktor-faktor yang mempercepat pertumbuhan industri perbankan syariah akan dapat dipenuhi, antara lain: realisasi konversi beberapa UUS (Unit Usaha Syariah) menjadi BUS (Bank Umum Syariah), implementasi UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sebagai kepastian hukum berhasil mendorong peningkatan kapasitas bank-bank syariah; implementasi UU No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN mampu memberikan semangat industri untuk meningkatkan kinerjanya, dukungan dari Amandemen UU Perpajakan sebagai kepastian hukum berhasil mendorong peningkatan kapasitas bank-bank syariah melalui peran investor asing, iklim dunia usaha yang tetap kondusif di tengah aktivitas Pemilu, meningkatnya pemahaman masyarakat dan preferensi untuk menggunakan produk dan jasa bank syariah, serta realisasi penerbitan Corporate SUKUK oleh bank syariah untuk memperkuat base capital perbankan syariah.

Dengan positioning khas perbankan syariah sebagai “lebih dari sekedar bank” (beyond banking), yaitu perbankan yang menyediakan produk dan jasa keuangan yang lebih beragam serta didukung oleh skema keuangan yang lebih bervariasi, kita yakin bahwa di masa-masa mendatang akan semakin tinggi minat masyarakat Indonesia untuk menggunakan bank syariah. Dan pada gilirannya hal tersebut akan meningkatkan signifikansi peran bank syariah dalam mendukung stabilitas sistem keuangan nasional, bersama-sama secara sinergis dengan bank konvensional dalam kerangka Dual Banking System (sistem perbankan ganda) Arsitektur Perbankan Indonesia (API).

- Sudjendro -