Menu Atas

BankSyariah     BaselCommittee     PerangMataUang     Ekonomi     Kontak     About Us     Video    

Sunday, May 23, 2010

SRI MULYANI INDRAWATI FAREWELL SPEECH AT RITZ, MAY 19th 2010


Saya rasanya lebih berat berdiri disini daripada waktu dipanggil Pansus
Century. Dan saya bisa merasakan itu karena sometimes dari moral dan etikanya
jelas berbeda. Dan itu yang membuat saya jarang sekali merasa grogi sekarang
menjadi grogi. Saya diajari Pak Marsilam untuk memanggil orang tanpa mas
atau bapak, karena diangap itu adalah ekspresi egalitarian. Saya susah
manggil 'Marsilam', selalu pakai 'pak', dan dia marah. Tapi untuk Rocky
saya malam ini saya panggil Rocky (Rocky Gerung dari P2D) yang baik. Terimakasih
atas...... (tepuk tangan)

Tapi saya jelas nggak berani manggil Rahmat Toleng dengan Rahmat Tolengtor,
kasus. Terimakasih atas introduksi yang sangat generous. Saya sebetulnya
agak keberatan diundang malam hari ini untuk dua hal. Pertama karena judulnya
adalah memberi kuliah. Dan biasanya kalau memberi kuliah saya harus, paling
tidak membaca textbook yang harus saya baca dulu dan kemudian berpikir
keras bagaimana menjelaskan.
Dan malam ini tidak ada kuliah di gedung atau di hotel yang begitu bagus
tu biasanya kuliah kelas internasional atau spesial biasanya. Hanya untuk
eksekutif yang bayar SPP nya mahal. Dan pasti neolib itu (disambut tertawa).
Oleh karena itu saya revisi mungkin namanya lebih adalah ekspresi saya
untuk berbicara tentang kebijakan publik dan etika publik.

Yang kedua, meskipun tadi mas Rocky menyampaikan, eh salah lagi. Kalau
tadi disebutkan mengenai ada dua laki-laki, hati kecil saya tetap saya
akan mengatakan sampai hari ini saya adalah pembantu laki-laki itu (tepuk
tangan). Dan malam ini saya akan sekaligus menceritakan tentang konsep
etika yang saya pahami pada saat saya masih pembantu, secara etika saya
tidak boleh untuk mengatakan hal yang buruk kepada siapapun yang saya bantu.
Jadi saya mohon maaf kalau agak berbeda dan aspirasinya tidak sesuai dengan
amanat pada hari ini.
Tapi saya diminta untuk bicara tentang kebijakan publik dan etika publik.
Dan itu adalah suatu topik yang barangkali merupakan suatu pergulatan harian
saya, semenjak hari pertama saya bersedia untuk menerima jabatan sebagai
menteri di kabinet di Republik Indonesia itu.

Suatu penerimaan jabatan yang saya lakukan dengan penuh kesadaran, dengan
segala upaya saya untuk memahami apa itu konsep jabatan publik. Pejabat
negara yang pada dalam dirinya, setiap hari adalah melakukan tindakan,
membuat pernyataan, membuat keputusan, yang semuanya adalah dimensinya
untuk kepentingan publik.
Disitu letak pertama dan sangat sulit bagi orang seperti saya karena saya
tidak belajar, seperti anda semua, termasuk siapa tadi yang menjadi MC,
tentang filosofi. Namun saya dididik oleh keluarga untuk memahami etika
di dalam pemahaman seperti yang saya ketahui. Bahwa sebagai pejabat publik,
hari pertama saya harus mampu untuk membuat garis antara apa yang disebut
sebagai kepentingan publik dengan kepentingan pribadi saya dan keluarga,
atau kelompok.

Dan sebetulnya tidak harus menjadi muridnya Rocky Gerung di filsafat UI
untuk pintar mengenai itu. Karena kita belajar selama 30 tahun dibawah
rezim presiden Soeharto. Dimana begitu acak hubungan, dan acak-acakan hubungan
antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Dan itu merupakan modal
awal saya untuk memahami konsekuensi menjadi pejabat publik yang setiap
hari harus membuat kebijakan publik dengan domain saya sebagai makhluk,
yang juga punya privacy atau kepentingan pribadi.

Di dalam ranah itulah kemudian dari hari pertama dan sampai lebih dari
5 tahun saya bekerja untuk pemerintahan ini. Topik mengenai apa itu kebijakan
publik dan bagaimana kita harus, dari mulai berpikir, merasakan, bersikap,
dan membuat keputusan menjadi sangat penting. Tentu saya tidak perlu harus
mengulangi, karena itu menyangkut, yang disebut, tujuan konstitusi, yaitu
kepentingan masyarakat banyak. Yaitu mencapai kesejahteraan rakyat yang
adil dan makmur.

Jadi kebijakan pubik dibuat tujuannya adalah untuk melayani masyarakat,
Kebijakan publik dibuat melalui dan oleh kekuasaan. Karena dia dibuat oleh
institusi publik yang eksis karena dia merupakan produk dari suatu proses
politik dan dia memiliki kekuasaan untuk mengeluarkannya. Disitulah letak
bersinggungan, apa yang disebut sebagai ingridient utama dari kebijakan
publik, yaitu unsur kekuasaan. Dan kekuasaan itu sangat mudah menggelincirkan
kita.
Kekuasaan selalu cenderung untuk corrupt. Tanpa adanya pengendalian dan
sistim pengawasan, saya yakin kekuasaan itu pasti corrupt. Itu sudah dikenal
oleh kita semua. Namun pada saat anda berdiri sebagai pejabat publik, memiliki
kekuasan dan kekuasan itu sudah dipastikan akan membuat kita corrupt, maka
pertanyaan 'kalau saya mau menjadi pejabat publik dan tidak ingin corrupt,
apa yang harus saya lakukan?'

Oleh karena itu, di dalam proses-proses yang dilalui atau saya lalui, jadi
ini lebih saya cerita daripada kuliah. Dari hari pertama, karena begitu
khawatirnya, tapi juga pada saat yang sama punya perasaan anxiety untuk
menjalankan kekuasaan, namun saya tidak ingin tergelincir kepada korupsi,
maka pada hari pertama anda masuk kantor, anda bertanya dulu kepada sistem
pengawas internal anda dan staff anda. Apalagi waktu itu jabatan dari Bappenas
menjadi Menteri Keuangan. Dan saya sadar sesadar sadarnya bahwa kewenangan
dan kekuasaan Kementrian Keuangan atau Menteri Keuangan sungguh sangat
besar. Bahkan pada saat saya tidak berpikir corrupt pun orang sudah berpikir
ngeres mengenai hal itu.

Bayangkan, seseorang harus mengelola suatu resources yang omsetnya tiap
tahun sekitar, mulai dari saya mulai dari 400 triliun sampai sekarang diatas
1000 triliun, itu omset. Total asetnya mendekati 3000 triliun lebih.(batuk2)
Saya lihat (ehem!) banyak sekali (ehem lagi) kalau bicara uang terus langsung.... (ada
air putih langsung datang diiringi ketawa hadirin).
Saya sudah melihat banyak sekali apa yang disebut tata kelola atau governance.
pada saat seseorang memegang suatu kewenangan dimana melibatkan uang yang
begitu banyak. Tidak mudah mencari orang yang tidak tergiur, apalagi terpeleset,
sehingga tergoda bahwa apa yang dia kelola menjadi seoalh-olah menjadi
barang atau aset miliknya sendiri.
Dan disitulah hal-hal yang sangat nyata mengenai bagaimana kita harus membuat
garis pembatas yang sangat disiplin. Disiplin pada diri kita sendiri dan
dalam, bahkan, pikiran kita dan perasaan kita untuk menjalankan tugas itu
secara dingin, rasional, dengan penuh perhitungan dan tidak membolehkan
perasaan ataupun godaan apapun untuk, bahkan berpikir untuk meng-abusenya.

Barangkali itu istilah yang disebut teknokratis. Tapi saya sih menganggap
bahwa juga orang yang katanya berasal dari akademik dan disebut tekhnokrat
tapi ternyata 'bau'nya tidak seperti itu. Tingkahnya apalagi lebih-lebih.
Jadi saya biasanya tidak mengklasifikasikan berdasarkan label. Tapi berdasarkan
genuine product nya dia hasilnya apa, tingkah laku yang esensial.
Nah, di dalam hari-hari dimana kita harus membicarakan kebijakan publik,
dan tadi disebutkan bahwa kewenangan begitu besar, menyangkut sebuah atau
nilai resources yang begitu besar. Kita mencoba untuk menegakkan rambu-rambu,
internal maupun eksternal.

Mungkin contoh untuk internal hari pertama saya bertanya kepada Inspektorat
Jenderal saya. "Tolong beri saya list apa yang boleh dan tidak boleh
dari seorang menteri." Biasanya mereka bingung, tidak perndah ada
menteri yang tanya begitu ke saya bu. Saya menetri boleh semuanya termasuk
mecat saya.
Kalau seorang menteri kemudian menanyakan apa yang boleh dan nggak boleh,
buat mereka menjadi suatu pertanyaan yang sangat janggal. Untuk kultur
birokrat, itu sangat sulit dipahami. Di dalam konteks yang lebih besar
dan alasan yang lebih besar adalah dengan rambu-rambu. Kita membuat standart
operating procedure, tata cara, tata kelola untuk membuat bagaimana kebijakan
dibuat. Bahkan menciptakan sistem check and balance.
Karena kebijakan publik dengan menggunakan elemen kekuasaan, dia sangat
mudah untuk memunculkan konflik kepentingan. Saya bisa cerita berhari-hari
kepada anda. Banyak contoh dimana produk-produk kebijakan sangat memungkinkan
seorang, pada jabatan Menteri Keuangan, mudah tergoda. Dari korupsi kecil
hingga korupsi yang besar. Dari korupsi yang sifatnya hilir dan ritel sampai
korupsi yang sifatnya upstream dan hulu.

Dan bahkan dengan kewenangan dan kemampuannya dia pun bisa menyembunyikan
itu. Karena dengan kewenangan yang besar, dia juga sebetulnya bisa membeli
sistem. Dia bisa menciptakan network. Dia bisa menciptakan pengaruh. Dan
pengaruh itu bisa menguntungkan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya.
Godaan itulah yang sebetulnya kita selalu ingin bendung. Karena begitu
anda tergelincir pada satu hal, maka tidak akan pernah berhenti.
Namun, meskipun kita mencoba untuk menegakkan aturan, membuat rambu-rambu,
dengan menegakkan pengawasan internal dan eksternal, sering bahwa pengawasan
itu pun masih bisa dilewati. Disinilah kemudian muncul, apa yang disebut
unsur etika. Karena etika menempel dalam diri kita sendiri. Di dalam cara
kita melihat apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, apakah sesuatu
itu menghianati atau tidak menghianati kepentingan publik yang harus kita
layani. Apakah kita punya keyakinan bahwa kita tidak sedang menghianati
kebenaran. Etika itu ada di dalam diri kita.

Dan kemudian kalau kita bicara tentang total, atau di dalam bahasa ekonomi
yang keren namanya agregat, setiap kepala kita dijumlahkan menjadi etika
yang jumlahnya agregat atau publik, pertanyaannya adalah apakah di dalam
domain publik ini setiap etika pribadi kita bisa dijumlahkan dan menghasilkan
barang publik yang kita inginkan, yaitu suatu rambu-rambu norma yang mengatur
dan memberikan guidance kepada kita.
Saya termasuk yang sungguh sangat merasakan penderitaan selama menjadi
menteri. Karena itu tidak terjadi. Waktu saya menjadi menteri, sering saya
harus berdiri atau duduk berjam-jam di DPR. Disitu anggota DPR bertanya
banyak hal. Kadang-kadang bernada pura-pura sungguh-sungguh. Merek emngkritik
begitu keras. Tapi kemudian mereka dengan tenangnya mengatakan 'Ini adalah
panggung politik bu.'

Waktu saya dulu masuk menteri keuangan pertama saya masih punya dua Dirjen
yang sangat terkenal, Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai saya. Mereka sangat
powerfull. Karena pengaruhnya, dan respectability karena saya tidak tahu
karena kepada angota dewan sangat luar biasa. Dan waktu saya ditanya, mulainya
dari...? Segala macem. Setiap keputusan, statemen saya dan yang lain-lain
selalu ditanya dengan sangat keras. Saya tadinya cukup naif mengatakan,
"Oh ini ongkos demokrasi yang harus dibayar." Dan saya legowo
saja dengan tenang menulis pertanyaan-pertanya an mereka.
Waktu sudah ditulis mereka keluar ruangan, nggak pernah peduli mau dijawab
atau tidak. Kemudian saya dinasehati oleh Dirjen saya itu, "Ibu tidak
usah dimasukkan ke hati bu. Hal seperti itu hanya satu episod drama saja.
" Tapi kemudian itu menimbulkan satu pergolakan batin orang seperti
saya. Karena saya kemudian bertanya. Tadi dikaitkan dengan etika publik,
kalau orang bisa secara terus menerus berpura-pura, dan media memuat, dan
tidak ada satu kelompokpun mengatakan bahwa itu kepura-puraan maka kita
bertanya, apalagi? siapa lagi yang akan menjadi guidance? yang mengingatkan
kita dengan, apa yang disebut, norma kepantasan. Dan itu sungguh berat.
Karena saya terus mengatakan kalau saya menjadi pejabat publik, ongkos
untuk menjadi pejabat publik, pertama, kalau saya tidak corrupt, jelas
saya legowo nggak ada masalah. Tapi yang kedua saya menjadi khawatir saya
akan split personality.

Waktu di dewan saya menjadi personality yang lain, nanti di kantor saya
akan menjadi lain lagi, waktu di rumah saya lain lagi. Untung suami dan
anak-anak saya tidak pernah bingung yang mana saya waktu itu. Dan itu sesuatu
yang sangat sulit untuk seorang seperti saya untuk harus berubah-ubah.
Kalau pagi lain nilainya dengan sore, dan sore lain dengan malam. Malam
lain lagi dengan tengah malam. Kan itu sesuatu yang sangat sulit untuk
diterima. Itu ongkos yang paling mahal bagi seorang pejabat publik yang
harus menjalankan dan ingin menjalankan secara konsisten.
Nah, oleh karena itu, didalam konteks inilah kita kan bicara mengenai kebijakan
publik, etika publik yang seharusnya menjadi landasan, arahan bagi bagaimana
kita memproduksi suatu tindakan, keputusan, yang itu adalah untuk urusan
rakyat. Yaitu kesejahteraan rakyat, mengurangi penderitaan mereka, menaikkan
suasana atau situasi yang baik di masyarakat, namun di sisi lain kita harus
berhadapan dengan konteks kekuasaan dan struktur politik. Dimana buat mereka
norma dan etika itu nampaknya bisa tidak hanya double standrart, triple
standart.

Dan bahkan kalau kita bicara tentang istilah dan konsep mengenai konflik
kepentingan, saya betul-betul terpana. Waktu saya menjadi executive director
di IMF, pertama kali saya mengenal apa yang disebut birokrat dari negara
maju. HAri pertama saya diminta untuk melihat dan tandatangan mengenai
etika sebagai seorang executive director, do dan don'ts. Disitu juga disebutkan
mengenai konsep konflik kepentingan. Bagaimana suatu institusi yang memprodusir
suatu policy publik, untuk level internasional, mengharuskan setiap elemen,
orang yang terlibat di dalam proses politik atau proses kebijakan itu harus
menanggalkan konflik kepentingannya. Dan kalau kita ragu kita boleh tanya,
apakah kalau saya melakukan ini atau menjabat yang ini apakah masuk dalam
domain konflik kepentingan. Dan mereka memberikan counsel untuk kita untuk
bisa membuat keputusan yang baik.
Sehingga bekerja di institusi seperti itu menurut saya mudah. Dan kalau
sampai anda tergelincir ya kebangetan aja anda. Namun waktu kembali ke
Indonesia dan saya dengan pemahaman pengenai konsep konflik kepentingan,
saya sering menghadiri suatu rapat membuat suatu kebijakan, dimana kebijakan
itu akan berimplikasi kepada anggaran, entah belanja, entah insentif, dan
pihak yang ikut duduk dalam proses kebijakan itu adalah pihak yang akan
mendapatkan keuntungan itu. Dan tidak ada rasa risih. Hanya untuk menunjukkan
yang penting pemerintahan efektif, jalan. Kuenya dibagi ke siapa itu adalah
urusan sekunder.

Anda bisa melihat bahwa kalau pejabat itu adalah background nya pengusaha,
meskipun yang bersangkutan mengatakan telah meninggalkan seluruh bisnisnya,
tapi semua orang tahu bahwa adiknya, kakaknya, anaknya, dan teteh, mamah,
aa' semuanya masih run. Dan dengan tenangnya, berbagai kebijakan, bahkan
yang membuat saya terpana, kalau dalam hal ini apa disebutnya? kalau dalam
bahasa inggris apa disebutnya?i drop my job atau apa..bengong itu.
Kita bingung bahwa ada suatu keputusan dibuat, dan saya banyak catatan
pribadi saya di buku saya. Ada keputusan ini, tiba-tiba besok lagi keputusan
itu ternyata yang menimport adalah perusahaannya dia.

Nah ini merupakan sesuatu hal yang barangkali tanpa harus mendramatisir
yang dikatakan oleh Rocky tadi seolah-olah menjadi the most reason phenomena.
Kita semua tahu, itulah penyakit yang terjadi di jaman orde baru. Hanya
dulu dibuatnya secara tertutup, tapi sekarang dengan kecanggihan, karena
kemampuan dari kekuasaan, dia mengkooptasi decision making process juga.
Kelihatannya demokrasi, kelihatannya melalui proses check and balance,
tapi di dalam dirinya, unsur mengenai konflik kepentingan dan tanpa etika
begitu kental. Etika itu barang yang jarang disebut pak.

Ada suatu saat saya membuat rapat dan rapat ini jelas berhubungan dengan
beberapa perusahaan. Kebetulan ada beberapa dari yang kita undang, dia
adalah komisaris dari beberapa perusahaan itu. Kami biasa, dan saya mengatakan
dengan tenang, bagi yang punya aviliasi dengan apa yang kita diskusikan
silahkan keluar dari ruangan. Memang itu adalah tradisi yang coba kita
lakukan di kementrian keuangan. Kebetulan mereka adlaah teman-teman saya.
Jadi teman-teman saya itu dengan bitter mengatakan, "Mba ani jangan
sadis-sadis amat lah kayak gitu. Kalaupun kita disuruh keluar juga diem-diem
aja. Nggak usah caranya kayak gitu."

Saya ingin menceritakan cerita seperti ini kepada anda bagaimana ternyata
konsep mengenai etika dan konflik kepentingan itu, bisa dikatakan sangat
langka di republik ini. Dan kalau kita berusaha untuk menjalankan dan menegakkan,
kita dianggap menjadi barang yang aneh. Jadi tadi kalau MC nya menjelaskan
bahwa saya ingin menjelaskan bahwa di luar gua itu ada sinar dan dunia
yang begitu bagus, di dalam saya dianggap seperti orang yang cerita yang
nggak nggak aja. Belum kalau di dalam konteks politik besar, kemudian,
wah ini konsep barat pasti 'Lihat saja Sri Mulyani, neolib.'

Jadi saya mungkin akan mengatakan bagaimana ke depan di dalam proses politik.
Tentu adalah suatu keresahan buat kita. Karena episod yang terjadi beberapa
kali adalah bahwa di dalam ruangan publik, rakyat atau masyarakat yang
harusnya menjadi the ultimate shareholder dari kekuasaan. Dia memilih,
kepada siapapun CEO di republik ini dan dia juga memilih dari orang-orang
yang diminta untuk menjadi pengawas atau check terhadap CEO nya.
Dan proses ini ternyata juga tidak murah dan mudah. Sudah banyak orang
yang mengatakan untuk menjadi seorang jabatan eksekutif dari level kabupaten,
kota, propinsi, membutuhkan biaya yang luar biasa, apalagi presiden pastinya.
Dan biayanya sungguh sangat tidak bisa dibayangkan untuk suatu beban seseorang.
Saya menteri keuangan saya biasa mengurusi ratusan triliun bahkan ribuan,
tapi saya tidak kaget dengan angka. Tapi saya akan kaget kalau itu menjadi
beban personal.

Seseorang akan menjadi kandidat mengeluarkan biaya sebesar itu. Kalkulasi
mengenai return of investment saja tidak masuk. Bagaimana anda mengatakan
dan waktu saya mengatakan sya lihat struktur gaji pejabat negara sungguh
sangat tidak rasional. Dan kita pura-pura tidak boleh menaikkan karena
kalau menaikkan kita dianggap mau mensejahterakan diri sebelum mensejahterakan
rakyat. Sehingga muncullah anomali yang sangat tidak bisa dijelaskan oleh
logika akal sehat, bahkan Rocky bilangnya ada akal miring. Saya mencoba
sebagai pejabat negara untuk mengembalikan akal sehat dengan mengatakan
strukturnya harus dibenahi lagi. Namun toh tetap tidak bisa menjelaskan
suatu proses politik yang begitu sangat mahalnya.
Sehingga memunculkan suatu kebutuhan untuk berkolaborasi dengan sumber
finansialnya. Dan disitulah kontrak terjadi. Di tingkat daerah, tidak mungkin
itu dilakukan dengan membayar melalui gajinya. Bahkan melalui APBD nya
pun tidak mungkin karena size dari APBN nya kadang-kadang tidak sebesar
atau mungkin juga lebih sulit. Sehingga yang bisa adalah melalui policy.
Policy yang bisa dijual belikan. Dan itu adalah adalah bentuk hasil dari
suatu kolaborasi.
pertanyaan untuk kita semua, bagaimana kita menyikapi hal ini didalam konteks
bahwa produk dari kebijakan publik, melalui sebuah proses politik yang
begitu mahal sudah pasti akan distated dengan struktur yang membentuk awalnya.
KArena kebijakan publik adalah hilirnya, hasil akhir. Hulunya yang memegang
kekuasaan, lebih hulu lagi adalah prosesnya untuk mendapatkan kekuasaan
itu demikian mahal.
Dan itu akan menjadi pertanyaan yang concern untuk sebuah sistem demokrasi.
Maka pada saat kita dipilih atau diminta untuk menjadi pembantu atau menjadibagian
dari pemerintah, Tentu kita tidak punya ilusi bahwa ruangan politik itu
vakum atau hampa dari kepentingan. politik dimana saja pasti tentang kepentingan.
Dan kepentingan itu kawin diantara beberapa kelompok untuk mendapatkan
kekuasaan itu. Pasti itu perkawinannya adalah pada siapa saja yang menjadi
pemenang.

Kalau pada hari ini tadi disebutkan ada yang menanyakan atau menyesalkan
atau ada yang menangisi ada yang gelo (jawa:menyesal. red), kenapa kok Sri
Mulyani memutuskan untuk mundur dari Menteri Keuangan. Tentu ini adalah
suatu kalkulasi dimana saya menganggap bahwa sumbangan saya, atau apapun
yang saya putuskan sebagai pejabat publik tidak lagi dikehendaki di dalam
sistem politik. Dimana perkawinan kepentingan itu begitu sangat dominan
dan nyata. Banyak yang mengatakan itu adalah kartel, saya lebih suka pakai
kata kawin, walaupun jenis kelaminnya sama. (ketawa dan tepuktangan)
Karena politik itu lebih banyak lakinya daripada perempuan makanya saya
katakan tadi. Hampir semua ketua partai politik laki kecuali satu. Dan
di dalam bahwa dimana sistem politik tidak menghendaki lagi atau dalam
hal ini tidak memungkinkan etika publik itu bisa dimnculkan, maka untuk
orang seperti saya akan menjadi sangat tidak mungkin untuk eksis. Karena
pada saat saya menerima tangungjawab untuk menjadi pejabat publik, saya
sudah berjanji kepada diri saya sendiri, saya tidak ingin menjadi orang
yang akan menghianati dengan berbuat corrupt. Saya tidak mengatakan itu
gampang. Sangat painful. Sungguh painful sekali. Dan saya tidak mengatakan
bahwa saya tidak pernah mengucurkan atau meneteskan airmata untuk menegakkan
prinsip itu. Karena ironinya begitu besar. Sangat besar. Anda memegang
kekuasaan begitu besar. Anda bisa, anda mampu, anda bahkan boleh, bahkan
diharapkan untuk meng abuse nya oleh sekelompok yang sebetulnya menginginkan
itu terjadi agar nyaman dan anda tidak mau. (tepuk tangan) Pada saat yang
sama anda tidak selalu di apresiasi. P2D kan baru muncul sesudah saya mundur
(ketawa, disini dia terlihat mengusapkan saputangan ke matanya).

Jadi ya terlambat tidak apa-apa, terbiasa. Saya masih bisa menyelamatkan
republik ini lah.
Jadi saya tidak tahu tadi, Rocky tidak ngasih tahu saya berapa menit atau
berapa jam. Soalnya diatas jam 9 argonya lain lagi nanti. Jadi saya gimana
harus menutupnya. Nanti kayaknya nyanyi aja balik terus nanti.
Mungkin saya akan mengatakan bahwa pada bagian akhir kuliah saya ini atau
cerita saya ini saya ingin menyampaikan kepada semua kawan-kawan disini.
Saya bukan dari partai politik, saya bukan politisi, tapi tidak berarti
saya tidak tahu politik. Selama lebih dari 5 tahun saya tahu persis bagaimana
proses politik terjadi. Kita punya perasaan yang bergumul atau bergelora
atau resah. Keresahan itu memuncak pada saat kita menghadapi realita jangan-jangan
banyak orang yang ingin berbuat baik merasa frustasi. Atau mungkin saya
akan less dramatic. Banyak orang-orang yang harus dipaksa untuk berkompromi
dan sering kita menghibur diri dengan mengatakan kompromi ini perlu untuk
kepentingan yang lebih besar. Sebetulnya cerita itu bukan cerita baru,
karena saya tahu betul pergumulan para teknokrat jaman Pak Harto, untuk
memutuskan stay atau out adalah pada dilema, apakah dengan stay saya bisa
membuat kebijakan publik yang lebih baik sehingga menyelamatkan suatu kerusakan
yang lebih besar. Atau anda out dan anda disitu akan punya kans untuk berbuat
atau tidak, paling tidak resiko getting associated with menjadi less. Personal
gain, public loss. If you are stay, dan itu yang saya rasakan 5 tahun,
you suddenly feel that everybody is your enemy.

Karena no one yang sangat simpati dan tahu kita pun akan tidak terlalu
happy karena kita tetap berada di dalam sistem. Yang tidak sejalan dengan
ktia juga jengkel karena kita tidak bisa masuk kelompok yang bisa diajak
enak-enakan. Sehingga anda di dalam di sandwich di dua hal itu. Dan itu
bukan suatu pengalaman yang mudah. Sehingga kita harus berkolaborasi untuk
membuat space yang lebih enak, lebih banyak sehingga kita bisa menemukan
kesamaan.

Nah kalau kita ingin kembali kepada topiknya untuk menutup juga, saya rasa
forum-forum semacam ini atau saya mengatakan kelompok seperti anda yang
duduk pada malam hari ini adalah kelompok kelas menengah. YAng sangat sadar
membayar pajak. Membayarnya tentu tidak sukarela, tidak seorang yang patriotik
yang mengatakan dia membayar pajak sukarela. Tapi meskipun tidak sukarela,
anda sadar bahwa itu adalah suatu kewajiban untuk menjaga republik ini
tetap berdaulat. Dan orang seperti anda yang tau membayar pajak adalah
kewajiban dan sekaligus hak untuk menagih kepada negara, mengembalikan
dalam bentuk sistim politik yang kita inginkan. Maka sebetulnya di tangan
orang-orang seperti anda lah republik ini harus dijaga. Sungguh berat,
dan saya ditanya atau berkali-kali di banyak forum untuk ditanya, kenapa
ibu pergi? Bagaimana reformasi, kan yang dikerjakan semua penting. Apakah
ibu tidak melihat Indonesia sebagai tempat untuk pengabdian yang lebih
penting dibandingkan bank dunia.

Seolah-olah sepertinya negara ini menjadi tanggungjawab Sri Mulyani. Dan
saya keberatan. Dan saya ingin sampaikan di forum ini karena anda juga
bertanggungjawab kalau bertama hal yang sama ke saya. Anda semua bertanggungjawab
sama seperti saya. Mencintai republik ini dengan banyak sekali pengorbanan
sampai saya harus menyampaikan kepada jajaran pajak, jajaran bea cukai,
jajaran perbendaharaan, "Jangan pernah putus asa mencintai republik."
Saya tahu, sungguh sulit mengurusnya pada masa-masa transisi yang sangat
pelik.

Kecintaan itu paling tidak akan terus memelihara suara hati kita. Dan bahkan
menjaga etika kita di dalam betindak dan berbuat serta membuat keputusan.
Dan saya ingin membagi kepada teman-teman disini, karena terlalu banyak
di media seolah-olah ditunjukkan yang terjadi dari aparat di kementrian
keuangan yang sudah direformasi masih terjadi kasus seperti Gayus.
Saya ingin memberikan testimoni bahwa banyak sekali aparat yang betul-betul
genuinly adalah orang-orang yang dedicated. Mereka yang cinta republik
sama seperti anda. Mereka juga kritis, mereka punya nurani, mereka punya
harga diri. Dia bekerja pada masing-masing unit, mungkin mereka tidak bersuara
karena mereka adalah bagian dari birokrat yang tidak boleh bersuara banyak
tapi harus bekerja.

Sebagian kecil adalah kelompok rakus, dan dengan kekuasaan sangat senang
untuk meng abuse. Tapi saya katakan sebagian besar adalah orang-orang baik
dan terhormat. Saya ingin tolong dibantu, berilah ruang untuk orang-orang
ini untuk dikenali oleh anda juga dan oleh masyarakat. Sehingga landscape
negara ini tidak hanya didominasi oleh cerita, oleh tokoh, apalagi dipublikasi
dengan seolah-oalh menggambarkan bahwa seluruh sistem ini adalah buruk
dan runtuh. Selama seminggu ini saya terus melakukan pertemuan dan sekaligus
perpisahan dengan jajaran di kementrian keuangan dan saya bisa memberikan,
sekali lagi, testimoni bahwa perasaan mereka untuk membuktikan bahwa reform
bisa jalan ada disana. Bantu mereka untuk tetap menjaga api itu. Dan jangan
kemudian anda disini bicara dengan saya, ya bisa diselamatkan kalau sri
mulyani tetap menjadi Menteri keuangan. Saya rasa tidak juga.

Suasana yang kita rasakan pada minggu-minggu yang lalu, bulan-bulan yang
lalu, seolah-olah persoalan negara ini disandera oleh satu orang, sri mulyani.
Sedemikian pandainya proses politik itu diramu sedemikian sehingga seolah-olah
persoalannya menjadi persoalan satu orang. Seseorang yang pada sautu ketika
dia harus membuat keputusan yang sungguh tidak mudah, dengan berbagai pergumulan,
kejengkelan, kemarahan, kecapekan, kelelahan, namun dia harus tetap membuat
kebijakan publik. Dia berusaha, berusaha di setiap pertemuan, mencoba untuk
meneliti dirinya sendiri apakah dia punya kepentingan pribadi atau kelompok,
dan apakah dia diintervensi atau tidak, apakah dia membuat keputusan karena
ada tujuan yang lain. Berhari-hari, berjam-jam dia bertanya, dia minta,
dia mengundang orang dan orang-orang ini yang tidak akan segan mengingatkan
kepada saya. Meskipun mereka tahu saya menteri, mereka lebih tua dari saya.
Orang seperti pak Darmin, siapa yang bisa bilang atau marahin pak marsilam?Wong
semua orang dimarahin duluan sama dia.

Mereka ada disana hanya untuk mengingatkan saya berbagai rambu-rambu, berbagai
pilihan dan pilihan sudah dibuat. Dan itu dilaporkan, dan itu diaudit dan
itu kemudian dirapatkan secara terbuka. Dan itu kemudian dirapatkerjakan
di DPR. Bagaimana mungkin itu kemudia 18 bulan kemudian dia seolah-olah
menjadi keputusan individu seorang Sri Mulyani. Proses itu berjalan dan
etika sunyi. Akal sehat tidak ada. Dan itu memunculkan suatu perasaan apakah
pejabat publik yang tugasnya membuat kebijakan publik pada saat dia sudah
mengikuti rambu-rambu, dia masih bisa divictimize oleh sebuah proses politik.SAya hanya mengatakan, kalau dulu pergantian rezim orde lama ke orde baru, semua orang di stigma komunis, kalau ini khusus didisain pada era reformasi seorang distigma dengan sri mulyani identik dengan century. Mungkin kejadiannya di satu orang saja, tapi sebetulnya analogi dan kesamaan mengenai suatu penghakiman telah terjadi.

Sebetulnya disitulah letak kita untuk mulai bertanya, apakah proses politik
yang didorong, yang dimotivate, yang ditunggangi oleh suatu kepentingan
membolehkan seseorang untuk dihakimi, bahkan tanpa pengadilan. Divonis
tanpa pengadilan. Itu barangkali adalah suatu episod yang sebetulnya sudah
berturut-turut kita memahami konsekuensi sebagai pejabat publik yang tujuannya membuat kebijakan publik, dan berpura-pura seolah-olah ada etika dan norma yang menjadi guidance kita dibenturkan dengan realita-realita politik.

Dan untuk itu, saya hanya ingin mengatakan sebagai penutup, sebagian dari
anda mengatakan apakah Sri mulyani kalah, apakah sri mulyani lari? Dan
saya yakin banyak yang menyesalkan keputusan saya. Banyak yang menganggap
itu adalah suatu loss atau kehilangan. Diantara anda semua yang ada disini,
saya ingin mengatakan bahwa saya menang. Saya berhasil. Kemenangan dan
keberhasilan saya definisikan menurut saya karena tidak didikte oleh siapapun termasuk mereka yang menginginkan saya tidak disini. (applause)
Saya merasa berhasil dan saya merasa menang karena definisi saya adalah
tiga. Selama saya tidak menghianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka disitu saya menang. Terimakasih.
(standing applause)