Menu Atas

BankSyariah     BaselCommittee     PerangMataUang     Ekonomi     Kontak     About Us     Video    

Tuesday, November 23, 2010

Ceramah Ekonomi oleh Dr. Darmin Nasution, Gubernur BI

Sambutan dan Ceramah Ekonomi
Dr. Darmin Nasution
Halal Bihalal Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)
5 November 2010
Yang saya hormati
Para Senior dan Sesepuh ISEI,
Pengurus Pusat ISEI,
Pengurus ISEI Cabang Seluruh Indonesia,
Para Anggota ISEI,
Bapak-Ibu undangan lainnya,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua,

Pada kesempatan ini mari bersama-sama kita panjatkan puji syukur
ke hadirat Allah SWT karena atas rahmatNya sajalah kita dapat berkumpul
di sini, berbagi cerita dan pengalaman, dalam acara Halal Bihalal Keluarga
Besar Ikatan Sarjana Ekoomi Indonesia (ISEI) tahun 1431 H. Walaupun
sudah berjarak beberapa waktu dari hari raya Iedul Fitri 1431 H, namun
semangat bersyukur kepada Tuhan memang sudah seharusnya tidak
mengenal waktu.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Rasa syukur juga patut kita ungkapkan apabila kita menelaah kinerja
perekonomian Indonesia akhir-akhir ini. Kita telah sama-sama mengikuti
bagaimana gejolak krisis global yang saat ini masih berlangsung telah

membuat banyak negara mengalami kontraksi yang cukup dalam. Di tengah
kondisi yang tidak menguntungkan tersebut, perekonomian Indonesia pada
tahun 2009 lalu masih dapat tumbuh 4.5%. Basis ekonomi kita yang lebih
banyak ditopang permintaan domestik, terutama konsumsi, ternyata lebih
berdaya tahan terhadap rambatan krisis global tersebut. Indonesia pun
disejajarkan dengan China dan India sebagai tiga negara yang masih
membukukan pertumbuhan positif sepanjang 2009.

Pada tahun 2010 ini Bank Indonesia memperkirakan perekonomian
kita akan tumbuh 6.1%, masih merupakan pencapaian yang cukup tinggi
dalam skala kawasan. Pada tahun 2011 dan selanjutnya, apabila didukung
oleh peningkatan investasi yang memadai, Bank Indonesia memprediksi
bahwa ekonomi domestik dapat terus tumbuh di atas 6.0%.

Sejalan dengan semakin menguatnya kegiatan ekonomi, laju inflasi
menunjukkan kecenderungan meningkat. Namun peningkatan inflasi dalam
beberapa bulan terakhir lebih diakibatkan dorongan kelompok bahan
makanan. Pemantauan terakhir menunjukkan kita masih memiliki harapan
bahwa inflasi akan berada dalam kisaran sasaran 5+1%.

Kekuatan ekonomi kita juga didukung oleh kinerja perdagangan yang
tetap solid. Neraca pembayaran pada tahun ini diperkirakan akan mencatat
surplus sebesar USD 27.4 miliar, sehingga akumulasi cadangan devisa akan
terus meningkat. Cadangan devisa kita per 28 Oktober telah mencapai USD
91.1 miliar.

Tumbuhnya harapan semakin membaiknya ekonomi juga dapat kita
lihat di pasar keuangan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus
meningkat dan telah mencapai 3.640 pada akhir Oktober lalu. Ini
merupakan level tertinggi dalam sejarah parsar saham di Indonesia.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Di tengah berbagai capaian positif perekonomian kita saat ini,
tantangan ke depan tidaklah ringan. Struktur industri menunjukkan
dinamika yang harus dicermati. Di satu sisi, pangsa industri berbasis
manufaktur tampak semakin mengecil, akibat industri berbasis sumber daya
alam yang semakin menonjol. Apabila dibiarkan, persoalan ini dapat
mengarah pada deindustrialisasi yang dapat berdampak pada menurunnya
nilai tambah industri nasional dan tergerusnya produktivitas perekonomian.
Disamping itu, ditengah-tengah persoalan pengangguran dan kemiskinan
yang masih dihadapi Indonesia, kehadiran industri padat karya yang luas
masih dibutuhkan.

Di sisi lain, industri manufaktur domestik kita masih kental dengan
muatan impor. Ini membuat pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan
dibarengi dengan naiknya impor secara cukup signifikan, yang berdampak
pada menurunnya surplus pada neraca transaksi berjalan (current account).
Apabila struktur industri kita yang bermuatan impor tinggi tersebut tidak
berubah, maka terdapat risiko kita akan mengalami defisit. Dalam kondisi
defisit, apabila sumber pembiayaan tetap mengandalkan arus modal masuk
jangka pendek yang memiliki volatilitas tinggi, seperti yang terjadi
sekarang, maka akan menimbulkan kerentanan. Kaitan struktur industri
dengan kerentanan neraca pembayaran masih merupakan persoalan yang
harus sama-sama kita kaji dan cari solusinya.

Dari sisi komposisi, neraca modal dan keuangan (capital and financial
account) kita memang masih kurang berimbang. Pada 2009, arus masuk
modal ke investasi portofolio kita sebesar USD 10,3 milyar, jauh lebih besar
dari investasi langsung jangka panjang (FDI) yang hanya sebesar USD 1.9
milyar. Bank Indonesia memproyeksikan bahwa di tahun 2010, kondisi akan
sedikit membaik, dengan investasi portofolio akan mencapai USD 15.5
milyar sementara FDI meningkat menjadi USD 9.4 milyar. Bila dilihat lebih
dalam, latar belakang masuknya FDI ke Indonesia ternyata cenderung
berorientasi pasar domestik ketimbang untuk ekspor. FDI yang masuk
tersebut juga membutuhkan impor tambahan sebagai komplemen modal.
Kondisi ini membuat FDI yang meningkat dapat membuat impor meningkat,
yang kembali dapat mengarah pada defisit transaksi berjalan dan
terganggunya keseimbangan eksternal.

Perekonomian kita yang cepat memanas di sisi neraca pembayaran
juga ternyata juga diikuti pada sisi internal. Kondisi infrastruktur yang masih
belum memadai, dikombinasikan dengan tantangan geografis yang kita
miliki, menjadikan kendala yang tampak semakin serius dalam produksi dan
distribusi. Kendala di sisi penawaran (supply side constraint) ini telah secara
konsisten membuat inflasi kita tetap lebih tinggi dari negara-negara
kawasan. Proyeksi terakhir Bank Indonesia menunjukkan inflasi inti sudah
kembali merangkak naik, ke arah 4.5% di 2010 dan 5.0% di 2011.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang diiiringi dengan potensi
peningkatan inflasi yang tinggi, utamanya dipacu dari sisi penawaran,
menunjukkan adanya persoalan pada keseimbangan internal.
Adanya potensi ketidakseimbangan internal dan ekternal, di balik
kisah sukses perekonomian Indonesia selama menghadapi krisis,
merupakan tantangan nyata bagi kita semua yang harus segera dijawab.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Lingkungan global yang sangat dinamis memang membuat
pengelolaan kebijakan ekonomi makro semakin kompleks. Ini karena
perekonomian kita tidak dapat menghindar dari dampak perubahan
konstelasi kebijakan ekonomi global paska krisis, khususnya kebijakan yang
ditempuh negara-negara maju.

Bagi beberapa negara maju, krisis global lalu memang cukup
berdampak destruktif, dimana sempat terjadi interaksi antar sektor
keuangan dan sektor riil tidak berjalan lagi sebagaimana mestinya.
Kondisi tersebut terkait dengan lingkaran permasalahan krisis yang
berjalan demikian cepat karena bekerjanya suatu mekanisme yang dikenal
sebagai financial accelerator, yaitu kondisi dimana sektor keuangan
mengamplifikasi apa yang terjadi di sektor riil sehingga berdampak lebih
ekstrem. Mekanisme ini tampak telah bekerja pada periode boom yang lalu
(awal 2000-an), maupun pada krisis saat ini. Sektor keuangan menjadi procyclical atau menyebabkan amplifikasi terhadap siklus ekonomi.

Financial accelerator ini berkerja sebagai berikut. Pada periode boom
atau positive shock, kenaikkan harga aset biasanya dibarengi dengan
bertambahnya modal bank dan berkurangnya leverage, yang mendorong
bank melakukan ekspansi. Kenaikkan harga aset juga memudahkan sektor
rumah tangga dan bisnis memperoleh pinjaman dari bank, yang pada
gilirannya memacu konsumsi dan investasi.

Sebaliknya, pada periode krisis atau negative shock, jatuhnya harga
aset menyebabkan modal bank merosot dan leverage bank naik. Karena
dalam masa krisis sangat sulit bagi bank meraih modal baru, bank
cenderung melikuidasi asset, sehingga membuat harga aset lebih merosot.
Dampak terhadap sektor riil dan ekonomi akan terasa lebih berat saat
negative shock tersebut menimpa bank-bank besar secara serentak, atau
terjadi efek sistemis dari neraca bank yang memburuk.

Dengan bekerjanya mekanisme financial accelerator tadi, dalam
kondisi krisis, kebijakan moneter yang konvensional menjadi sulit
diandalkan efektivitasnya. Di Amerika dan Jepang misalnya, suku bunga
yang mendekati nol persen pun belum mampu menstimulasi kegiatan
ekonomi. Tidak berjalannya transmisi kebijakan moneter melalui suku
bunga pada gilirannya mengharuskan bank sentral melalui berbagai
program non-konvensional, diantaranya quantitave easing (QE), yaitu
membeli instrumen keuangan secara langsung, dengan menggelontorkan
likuiditas ke pasar keuangan. Sebagai contoh pada 3 November kemarin
Amerika meluncurkan QE jilid II dimana diputuskan untuk membeli aset
sebesar USD 600 milyar.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Dalam skala global, kita juga melihat bagaimana pemulihan ekonomi
di berbagai negara berjalan dalam multispeed recovery, terutama ditandai
dengan semakin melebarnya disparitas pertumbuhan ekonomi antara
negara maju dan emerging market. Disparitas juga tampak dari sisi
kebijakan, misalnya Amerika yang terus melanjutkan ekspansi sementara
India dan Australia pada 2 November lalu menaikkan suku bunga kebijakan.
Momentum pemulihan ekonomi di banyak negara maju memang
terlihat melemah. Kondisi tersebut tergambar jelas dari masih tingginya
tingkat pengangguran, melemahnya kembali konsumsi rumah tangga yang
disertai dengan menguatnya ancaman deflasi di Amerika, Eropa, dan
Jepang. Di pihak lain, pemulihan ekonomi negara-negara emerging market
khususnya di Asia dan Amerika Latin melaju pesat, disertai dengan mulai
munculnya tekanan inflasi.

Dari uraian tadi, terlihat bahwa dari sisi arus modal memang terdapat
push factor, yaitu berlimpahnya likuiditas dan rendahnya suku bunga di
negara maju, yang pada saat bersamaan disertai pull factor, yaitu
membaiknya fundamental ekonomi, tingginya suku bunga, dan membaiknya
persepsi risiko ke emerging market. Kedua faktor tersebut secara
bersamaan telah, sedang menyebabkan derasnya aliran modal ke emerging
market, termasuk ke Indonesia.

Pada saat ini Indonesia memang menjadi magnet tujuan investasi
bagi kalangan pengelola modal portofolio internasional. Intensitas arus
masuk modal portfolio ke Indonesia dalam tiga bulan terakhir bahkan
semakin kuat karena para investor global tersebut mengantisipasi langkahlangkah
lanjutan kebijakan moneter di Amerika.
Terkait QE jilid II yang baru saja diumumkan, the Fed diperkirakan
akan mengaktifkan kembali program pembelian aset dalam skala besar
(large-scale asset purchases/LSAP). Program ini dipastikan akan semakin
menekan lagi suku bunga jangka panjang di AS, yang pada gilirannya
semakin memperderas arus modal ke negara emerging market.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Kita sama-sama menyaksikan bagaimana gelombang intervensi di
pasar valuta asing, untuk meredam tekanan apresiasi, telah menjadi menu
harian kebijakan taktis di sejumlah negara-negara emerging market
belakangan ini. Akibat fenomena yang sementara orang menyebut
currency-war ini, akumulasi cadangan devisa oleh negara emerging market
pun meningkat pesat.

Depresiasi dollar juga semakin terakselerasi, disamping oleh langkah
QE jilid II, juga oleh langkah sejumlah bank sentral emerging market yang
mereposisi akumulasi cadangan devisa mereka ke instrumen keuangan nondollar,termasuk instrumen negara emerging market lain.

Intervensi memang dapat membantu menahan tekanan apresiasi,
namun tidak dapat terus menerus dilakukan karena beban ongkos sterilisasi
yang cukup besar. Oleh karenanya, banyak negara emerging market mulai
memikirkan dengan serius berbagai kebijakan yang termasuk kelas
macroprudential. Bahkan sejumlah negara merespon derasnya arus modal
masuk dengan capital control, misalnya pemerintah Brazil yang
mengenakan pajak terhadap transaksi pihak asing di pasar obligasi.

Solusi atas lingkaran permasalahan arus modal global dan
pengelolaan kebijakan nilai tukar ini tentunya memerlukan koordinasi
multilateral, dan oleh karenanya saat ini terus menjadi tema sentral di
berbagai fora internasional, seperti di G-20, ASEAN, IMF, dan BIS.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Derasnya arus masuk modal global ke perekonomian kita membawa
manfaat, tetapi juga menimbulkan permasalahan yang kompleks. Masuknya
modal asing meningkatkan pasokan devisa di pasar keuangan domestik,
mendorong penguatan rupiah, dan menurunkan imbal hasil (yield) surat
utang negara (SUN). Rupiah yang menguat membantu menekan inflasi
melalui turunnya harga barang impor. Sementara itu, dengan turunnya yield
SUN juga menurunkan ongkos pembiayaan anggaran pemerintah.

Di sisi lain, arus modal masuk saat ini menimbulkan permasalahan
karena sebagian besar berjangka pendek, mudah berbalik arah, memicu
penggelembungan aset (asset bubble), dan berpotensi menekan nilai rupiah
menjauh dari nilai fundamentalnya (overshoothing). Selain itu, derasnya
arus modal saat ini dirasa sudah lebih besar dari kemampuan sektor riil dan
pasar keuangan kita untuk dapat menyerapnya. Dari segi kedalaman
maupun ketersediaan instrumen, pasar keuangan kita tampak belum siap
untuk menerima begitu derasnya arus masuk modal jangka pendek.
Kurang dalamnya pasar keuangan kita relatif terhadap besarnya
modal asing menjadikan sistem keuangan domestik rentan terhadap
perubahan mendadak sentimen investor global. Pada Mei lalu kita
menyaksikan bagaimana munculnya sentimen negatif berupa memuncaknya
kekhawatiran terhadap krisis ekonomi di Yunani telah memicu penarikan
dana asing dalam skala besar dan mendadak (large and sudden reversal)
dari perekonomian Indonesia yang menimbulkan tekanan kuat terhadap
Rupiah.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Dalam menyikapi derasnya arus masuk modal sekaligus memitigasi
potensi risiko yang dapat ditimbulkan apabila modal tersebut berbalik arah,
Bank Indonesia telah menempuh beberapa langkah kebijakan.
Dikeluarkannya kebijakan tersebut tidak lain adalah untuk menjaga
stabilitas makro dan mempertahankan kesinambungan pertumbuhan
perekonomian kita.

Sebagai first line of defence, Bank Indonesia tetap mengedepankan
pengelolan kebijakan moneter dan perbankan yang pruden yang dijalankan
secara konsisten. Ini diharapkan dapat semakin memperkuat kredibilitas
kebijakan sehingga turut menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
investasi untuk segala jenis investasi apapun.

Sementara itu dalam tataran operasional, Bank Indonesia telah
mengambil langkah-langkah dalam bentuk bauran kebijakan (policy mix),
yaitu dengan:

1) Mengakomodasi nilai tukar yang fleksibel yaitu membiarkan Rupiah
mengalami apresiasi, namun juga tetap menjaga agar tidak
overshooting dan tidak terlalu fluktuatif, yaitu melalui intervensi
guna memelihara stabilitas ekonomi makro, stabilitas keuangan,
dan kesinambungan neraca transaksi berjalan.

2) Memupuk cadangan devisa, yang sangat diperlukan sebagai upaya
untuk memperkuat perisai (sebagai insurance) ketika menghadapi
pembalikan modal.

3) Mengambil sejumlah kebijakan macroprudential secara selektif,
guna mengelola arus modal yang cenderung fluktuatif.

Perlu saya tekankan di sini bahwa walaupun instrumen kebijakan
konvensional seperti intervensi di pasar valuta asing sejauh ini cukup
efektif, kita tetap menghadapi kompleksitas dalam pengelolaan kebijakan
moneter. Ekspansi likuiditas sebagai dampak langsung intervensi di pasar
valuta asing perlu diserap kembali melalui operasi moneter agar tidak
memicu inflasi; ini menyebabkan outstanding SBI terus meningkat.
Oleh karena itu, menyadari semakin kompleknya permasalahan yang
akan dihadapi ke depan, Bank Indonesia juga menempuh langkah nonkonvensional
dalam bentuk kebijakan macroprudential. Pada 16 Juni lalu,telah dikeluarkan ketentuan kewajiban bagi pembeli SBI untuk menahan
kepemilikannya selama satu bulan baik di pasar primer maupun sekunder,
yang berlaku baik bagi pelaku domestik maupun asing. Kebijakan tersebut
cukup efektif dalam mencegah terjadinya pembalikan modal dalam skala
besar dan mendadak, karena investor tidak dapat lagi mencairkan SBI
setiap saat. Kita menyaksikan akhir-akhir ini nilai tukar rupiah dapat terjaga
dengan stabil.

Bank Indonesia juga melengkapi instrumen pengelolaan likuiditas
dengan memperkenalkan Term Deposit (TD) Rupiah yang tidak dapat
diperdagangkan (non-transfarable). Ini akan semakin mempersempit
peluang pihak asing dalam mengakumulasi SBI.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Banyak kita mendengar pandangan perlunya bagi kita mengambil
kebijakan capital control. Namun, saya melihat sejauh ini beberapa langkah
kebijakan yang telah kita ambil telah cukup efektif. Meski demikian, tentu
saja ruang untuk opsi-opsi kebijakan tambahan lainnya tetap terbuka.
Dalam tataran diskusi internasional, kebijakan capital control tidak lagi
diharamkan apabila seluruh opsi kebijakan makro konvensional yang
tersedia dirasa tidak lagi memadai untuk memitigasi dampak buruk dari lalu
lintas modal yang ekstrem.

Capital control memiliki alasan kuat untuk menjadi bagian dari
perangkat kebijakan dalam mengelola arus masuk modal apabila tekanan
inflasi meningkat, apabila kecukupan cadangan devisa sudah lebih dari
optimal, apabila nilai mata uang domestik overvalued, dan apabila arus
modal yang masuk mayoritas bersifat sementara (transitory).

Melihat kondisi sekarang, memang semakin banyak otoritas di
sejumlah negara emerging market yang mulai mempertimbangkan untuk
menrancang dan menerapkan kebijakan capital control namun secara
specifik dan tepat sasaran (targeted). Agar kebijakan capital control
tersebut efektif maka sangat penting untuk dapat menbedakan antara
sumber dan jenis aliran modal, mempertimbangkan secara hati-hati pilihan
instrumen yang akan digunakan, memperkuat komunikasi dan kapasitas
institusional, serta merancang mekanisme entry/exit dan penyesuaian
terhadap instrumen yang telah ditetapkan.

Secara umum, instrumen capital control yang memerlukan perubahan
minimal dari sistem yang sudah tersedia akan lebih mudah disesuaikan,
dikomunikasikan, dan diimplementasikan. Namun, instrumen capital control
yang memerlukan perubahan mendasar dari sistem yang sudah ada dapat
menimbulkan dampak psikologis yang lebih besar dan mungkin risiko gagal.
Singkatnya, capital control dapat saya ibaratkan sebagai pedang
bermata dua yang sebaiknya disimpan sampai kondisi darurat sekali terjadi.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Sebelum saya akhiri sambutan saya, ada satu isu kebijakan lain yang
baiknya kita kaji secara serius dan segera, dalam menyikapi derasnya arus
modal masuk ini, yaitu bagaimana kita bisa meraup manfaat sebesarsebesarnya
dari arus modal masuk tersebut guna mendorong pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan. Dengan kata lain, persoalan fundamental yang
perlu kita jawab bersama adalah bagaimana kita mampu memanfaatkan
aliran modal ini ke jangka waktu yang lebih panjang.

Terdapat sejumlah langkah yang dapat kita tempuh. Pertama, kita
seyogyanya mampu mendorong pemanfaatan aliran modal tersebut untuk
pembiayaan bagi perusahaan dan pendalaman pasar keuangan domestik.
Kemudahan-kemudahan dan stimulus di pasar modal dapat diberikan baik
untuk mendorong penerbitan saham (initial/secondary public offering)
maupun obligasi (bond issuance) bagi korporasi. Bahkan besarnya minat
investasi dari luar negeri tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk
mendukung upaya-upaya untuk penerbitan saham dan obligasi perusahaanperusahaan BUMN kita.

Kedua, yang juga sangat penting dan mendesak, kita sebaiknya
mampu mendorong perbaikan iklim investasi dan pembangunan
infrastruktur dengan memanfaatkan peluang dari besarnya minat investasi
asing tersebut. Diskusi tentang hal ini sudah sama-sama kita ikuti dan
berbagai rekomendasi kebijakan juga sudah disampaikan dan dirumuskan.
Kini tinggal bagaimana kita secara kokoh dan konsisten mengimplementasikannya.

Mendorong investasi sangatlah penting untuk meningkatkan kapasitas
perekonomian. Memacu pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi dengan
peningkatan kapasitas produksi hanya akan menghasilkan tekanan inflasi
yang utamanya muncul akibat keterbatasan sisi penawaran. Ke depan,
Insya Allah, dengan fundamental ekonomi kita yang semakin baik, minat
asing untuk berinvestasi di Indonesia akan sangat besar. Apalagi, Indonesia
memiliki peluang untuk memasuki peringkat investment grade tahun depan.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Demikian pokok-pokok pemikiran dalam menyikapi besarnya arus
modal masuk dari luar negeri dewasa ini. Kita harus mampu memanfaatkan
aliran modal tersebut untuk kepentingan pembangunan ekonomi
berkelanjutan. Intinya kita memang harus mampu menjaga stabilitas
ekonomi makro ditengah keterbukaan ekonomi kita. Ketiadaan kesalahan
kebijakan makro tidak menjamin kita tetap aman dari dampak gejolak luar.
Akhir kata, semoga Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang meridhoi
kegiatan kita hari ini dan senantiasa melimpahkan bimbingan,
petunjuk, dan rahmat-Nya kepada kita sekalian. Terima kasih.

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Dr. Darmin Nasution

No comments:

Post a Comment