Demikian
pula merujuk kepada hadis Nabi Muhammad saw. antara lain: “Perjanjian
boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin
terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi), “Tidak boleh
membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain.” HR Ibnu Majah
dan al-Daraquthni, “Telah dihadapkan kepada Rasulullah saw. jenazah
seorang laki-laki untuk dishalatkan. Rasulullah bertanya, ‘Apakah ia
mempunyai utang?’ Sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka, beliau
menshalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah pun
bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Mereka menjawab, ‘Ya’. Rasulullah
berkata, ‘Shalatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau
menshalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin utangnya, ya
Rasulullah’. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut.” HR
Bukhari, “Za’im (penjamin) adalah gharim (orang yang menanggung utang)”.
HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibn Hibban, “Kami pernah menyewakan tanah
dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka Rasulullah melarang kami
melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan
emas atau perak.” HR Abu Dawud, “Barang siapa mempekerjakan pekerja,
beritahukanlah upahnya.” HR Abd ar-Razzaq, “Orang yang melepaskan
seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan
kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya
selama ia (suka) menolong saudaranya” HR Muslim, “…menunda-nunda
(pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezhaliman…”.
HR Jemaah, “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu,
menghalalkan harga diri dan memberikan sanksi kepadanya.” HR Nasa’i, Abu
Daud, Ibn Majah, dan Ahmad, dan “Orang yang terbaik di antara kamu
adalah orang yang paling baik dalam pembayaran utangnya.” HR Bukhari.
Kaidah
Fikih yang menjadi dasar fatwa antara lain: a. “Pada dasarnya, semua
bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
b. “Kesulitan dapat menarik kemudahan.” c. “Keperluan dapat menduduki
posisi darurat.” d. “Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan
sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama
tidak bertentangan dengan syariat).” e. “Menghindarkan kerusakan
(kerugian) harus didahulukan (diprioritaskan) atas mendatangkan
kemaslahatan.”
Selain itu, keputusan fatwa tersebut diambil setelah mempelajari pendapat fuqaha’ dan
fatwa di dunia internasional antara lain Imam al-Dimyathi dalam kitab
I’anah al-Thalibin, jilid III, hlm. 77–78, Khatib Syarbaini dalam kitab Mughni al-Muhtaj, jilid III, hlm. 202, As-Syirazi dalam kitab al-Muhadzdzab, juz I, Kitab al-Ijarah,
hlm. 394, Sayyid Sabiq dalam kitab Fikih al-Sunnah, jilid 4, hlm.
221–222, Mushthafa ‘Abdullah al-Hamsyari sebagaimana dikutip oleh Syaikh
‘Athiyah Shaqr, dalam kitab Ahsan al-Kalam fi al-Fatawa wa al-Ahkam, jilid 5, hlm. 542-543: “Letter of Credit (L/C).
Adapun fatwa lain yang menjadi rujukan adalah Keputusan Hai’ah al-Muhasabah wa al-Muraja’ah li-al-Mu’assasah al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain, al-Ma’ayir al-Syar’iyah Mei 2004: al-Mi’yar al-Syar’i, nomor 2 tentang Bithaqah al-Hasm wa Bithaqah al-I’timan.
Demikian pula Fatwa-fatwa DSN-MUI terkait yaitu a. No. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah, b. No. 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah, c. No. 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran, d. No. 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Qardh; e. No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ta’widh.
Sebagai perbandingan dapat pula dilihat fatwa terkait kartu kredit yang dikeluarkan oleh Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Fatwa No. 3675, 5832, dan Pertanyaan ke-1 dari Fatwa Nomor 7425.
Definisi Kartu Kredit
Kartu Kredit; Bithaqah al-I’timan adalah
kartu yang diterbitkan oleh bank atau perusahaan pengelola kartu kredit
yang memberikan hak kepada orang yang memenuhi persyaratan tertentu
yang namanya tertera dalam kartu untuk menggunakannya sebagai alat
pembayaran secara kredit atas perolehan barang atau jasa, atau untuk
menarik uang tunai dalam batas kredit sebagaimana telah ditentukan oleh
bank atau perusahaan pengelola kartu kredit; dalam melaksanakan
pembayaran kembali kredit tersebut, pemegang kartu tidak diwajibkan
untuk melakukan pembayaran sekaligus, tetapi diberikan kelonggaran untuk
membayar secara angsuran dengan tingkat bunga tertentu dan nilai
angsuran sebesar persentase tertentu dari saldo kredit yang telah,
digunakan (credit card).
Kartu Kredit Syariah (Syariah Card)
Kartu kredit (Inggris; credit card, Arab; bithaqah i’timan) yang dalam Islamic finance dikenalkan istilah Islamic card atau shariah card di dunia yang menuju less cash society pada
hakikatnya merupakan salah satu instrumen dalam sistem pembayaran
sebagai sarana mempermudah proses transaksi yang tidak tergantung kepada
pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang berisiko.
Dalam beberapa literatur fikih kontemporer, status hukumnya sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan) yang disertai talangan pembayaran (qardh) serta jasa ijarah untuk kemudahan transaksi. Perusahaan perbankan dalam hal ini yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi pengguna kartu kredit tersebut dalam berbagai transaksi. Oleh karena itu, berlaku di sini hukum kafalah, qardh dan ijarah.
Sementara
dalam ketentuan Umum fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia (DSNMUI) No. 54/DSN-MUI/X/2006, tentang Syariah Card (Bithaqah I’timan/Credit Card) yang dimaksud dengan Syariah Card adalah
kartu yang berfungsi seperti Kartu Kredit yang hubungan hukum
(berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan
prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam fatwa.
Para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam muamalah berdasarkan dalil Alquran, Sunnah dan Ijma’.
Allah berfirman: “…dan siapa yang dapat mengembalikannya akan
memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin
terhadapnya.” (QS. Yusuf: 72).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “za’im” dalam ayat tersebut adalah “kafil”. Nabi Muhammad saw.: “az-Za’im Gharim” artinya; orang yang menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Hibban).
Ulama sepakat (ijma’) tentang bolehnya praktik kafalah karena lazim dibutuhkan dalam muamalah. (Lihat, Subulus Salam, III/62, Al-Mabsuth, XIX/160, Al-Mughni, IV/534, Mughnil Muhtaj, II/98).
Kafalah pada dasarnya adalah akad tabarru’ (sukarela/voluntary) yang bernilai ibadah bagi penjamin karena termasuk kerja sama dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri),
dan penjamin berhak meminta gantinya kembali kepada terutang,
sepantasnyalah ia tidak meminta upah atas jasanya tersebut. agar
aman/jauh dari syubhat.
Tetapi,
kalau terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau hibah untuk
mengungkapkan rasa terima kasihnya, sah-sah saja. Namun demikian, jika
penjamin sendiri yang mensyaratkan imbalan jasa (semacam uang iuran
administrasi kartu kredit dan sebagainya) tersebut dan tidak mau
menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa jaminan
memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim
dalam perjalanan studi, transaksi bisnis, kegiatan sosial, urusan
pribadi dan sebagainya.
Secara
prinsip kartu kredit tersebut dibolehkan syariah selama dalam
praktiknya tidak bertransaksi dengan sistem riba yaitu memberlakukan
ketentuan bunga bila pelunasan utang kepada penjamin lewat jatuh tempo
pembayaran atau menunggak.
Di samping itu ketentuan uang jasa kafalah tadi
tidak boleh terlalu mahal sehingga memberatkan pihak terutang atau
terlalu besar melebihi batas rasional, agar terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang kepada merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kredit tertentu. (Lihat, DR Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161).
Dengan demikian, dibolehkan bagi umat Islam untuk menggunakan jasa kartu kredit (credit card)
yang tidak memakai sistem bunga. Namun, bila terpaksa atau tuntutan
kebutuhan mengharuskannya menggunakan kartu kredit biasa yang memakai
ketentuan bunga, demi kemudahan transaksi dibolehkan memakai semua kartu
kredit dengan keyakinan penuh menurut kondisi finansial dan ekonominya
mampu membayar utang dan komitmen untuk melunasinya tepat waktu sebelum
jatuh tempo agar tidak membayar utang.
Hal ini berdasarkan prinsip fikih ‘Saddudz Dzari’ah’,
artinya sikap dan tindakan preventif untuk mencegah dari perbuatan
dosa. Sebab, hukum pemakan dan pemberi uang riba adalah sama-sama haram
berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud bahwa: “Rasulullah saw. melaknat pemakan
harta riba, pembayar riba, saksi transaksi ribawi dan penulisnya.” (HR
Bukhari, Abu Dawud).
Persamaan antara kartu kredit syariah dan konvensional adalah
(1) Iuran tahunan;
(2) Pagu limit berdasarkan jenis kartu, yaitu kartu hijau, kartu emas, dan kartu platinum;
(3) Menggunakan jasa layanan penyedia kartu global (MasterCard);
(4)
Dapat digunakan untuk kegiatan dasar, yaitu pembayaran secara kredit di
merchant penyedia kartu global tersebut dan pembayaran tagihan bulanan,
seperti listrik, air, dan telepon.
Beda antara Kartu Kredit Syariah dan Konvensional
Perbedaan
antara kartu kredit syariah dan kartu kredit konvensional adalah: Kartu
kredit konvensional mengutamakan adanya bunga (misalnya sebesar 2-4%
per bulan) sebagai bentuk pengambilan keuntungan terhadap pelunasan
tagihan yang dicicil. Nilai ini berbentuk bunga berbunga, sehingga dalam
1 tahun saja bunganya saja bisa mendekati nilai transaksi awal.
Kartu Kredit Syariah, mengklaim adanya skema unik berdasarkan sistem syariah, yaitu akad ijarah, kafalah, dan qardh. Akad ijarah adalah biaya keanggotaan (iuran tahunan), kafalah adalah penjaminan transaksi, sedangkan qardh adalah
pemberian pinjaman untuk pengambilan tunai. Secara umum skemanya
seharusnya tidak jauh beda dari kartu kredit konvensional, tapi untuk
mendukung 3 jenis skema akad tersebut, Kartu Kredit Syariah menggunakan
sejumlah aturan pendukung karena tidak menggunakan bunga.
Ada 3 hal yang diharapkan dapat meredam kemungkinan terjebak pada bunga/riba: (a) Goodwill investment. Pengguna wajib menyetor goodwill investment (misalnya sebesar 10% dari limit). Ini bertujuan supaya penggunaan kartu kredit tidak semena-mena; (b) Pembukaan rekening. Pengguna wajib membuka rekening di bank syariah (misalnya sebesar minimum 500 ribu rupiah). (c) Pengenaan Denda.
Ada
2 jenis denda yang akan dikenakan bila pengguna Kartu Kredit Syariah
terlambat melunasi utangnya. Misalnya, Denda pertama adalah ta’widh,
sebagai biaya penagihan bank, sebesar 17 ribu per bulan. Denda kedua
adalah sebesar 3% dari tagihan. Tapi ingat, jumlah itu bukan bunga
karena merupakan qardhul hasan yang akan disumbangkan ke BAZIS dan bukan hak bank.
Keuntungan Bank dari Kartu Kredit Syariah
Bank syariah hanya mendapat keuntungan dari jasa penjamin transaksi dan tidak mendapatkan keuntungan dari bunga.
No comments:
Post a Comment