Dalam banyak kesempatan dan medium, terutama yang kerap dipertontonkan oleh elite politik di negeri ini, ekonomi kerakyatan adalah jargon yang menjadi 'dagangan' utama dalam menarik simpati publik.
Bahwa prinsip kesetaraan, keadilan, kemudahan, dan persamaan dalam akses kesejahteraan, tanpa dominasi kelompok bahkan kartel bisnis tertentu, adalah spirit ekonomi kerakyatan yang selalu digaungkan.
Praktiknya, masih banyak pekerjaan rumah kita. Setidaknya, hal ini terlihat dalam perbandingan bank perkreditan rakyat (BPR) sebagai salah satu instrumen ekonomi kerakyatan di negeri ini, dengan negara berkembang lainnya.
Lembaga keuangan mikro ternama asal Bangladesh, Grameen Bank, memiliki prestasi fenonemal. Penghargaan Nobel yang amat prestisius pun meluncur ke negeri tersebut, pertanda berhasilnya ekonomi kerakyatan.
Betapa tidak. Sejak berdiri, kredit yang mereka salurkan sudah mencapai US$6,55 miliar, yang dinikmati 7,34 juta debitor (97% di antaranya perempuan), dengan 24.703 karyawan plus keberadaan 2.468 kantor cabang.
KIVA, sebagai contoh lembaga lainnya, adalah semacam BPR yang didirikan oleh duo alumnus Universitas Stanford, Matt Flanery-Jessica Jackley, dengan wilayah operasi di hampir 40 negara berkembang di dunia.
Mulai dari Kongo, Benin, Kongo, Ekuador, Republik Dominika, Afghanistan, dst. Total kredit mereka hingga November 2009 mencapai Rp 1,7 triliun, dengan hampir 700 ribu kreditor, dan kisaran pinjaman Rp 3,5 juta per individu.
Yang lebih hebat, tingkat pengembalian kredit KIVA mencapai 98,48%! Dan tahukah Anda, baik Grameen Bank maupun KIVA, benang merah keberhasilan keduanya, jika ditelisik, salah satunya karena implementasi perangkat teknologi informasi (TI).
Ambil contoh Grameen di cabang Koota, India yang konsisten menerapkan peranti lunak kode terbuka bernama MIFOS atau Microfinance Opensource. Ini ditunjang baterai cadangan di tiap komputer, sehubungan listrik yang kerap mati di wilayah tersebut.
Melalui konsep web based management information system, cara ini memungkinkan antar cabang di Grameen Koota, India melakukan operasional secara real time, efisien, dan tidak kalah handal.
Selain perangkat lunak cuma-cuma, mereka menyediakan komputer, baterai, dan akses Internet 56 s.d 512 Kbps. Karenanya, seperti ditulis www.mifos.org, MIFOS berhasil diinstalasi di 120 cabang kantor mencakup 280.000 nasabah.
Sementara KIVA menerapkan konsep pinjam-meminjam mikro secara online. Dalam portalnya, tersedia data ribuan pengusaha mikro yang siap memfasilitasi pemberian pinjaman kepada masyarakat kurang mampu.
Dengan tipikal wilayah dan situasi ekonomi yang tak jauh berbeda dengan Indonesia, baik Grameen maupun KIVA, keduanya terbukti bisa mengembangkan lembaga keuangan mikro dengan fasilitator utama perangkat TI.
BPR di Indonesia
Aplikasi TI bagi BPR di Indonesia, sebenarnya tidak kalah maju dengan paparan data di atas tadi. Setidaknya begitulah hasil survei yang kami lalukan kepada 43 responden pada April 2010 lalu.
100% dari responden dari sebuah survey menyatakan telah menggunakan solusi TI dalam operasional sehari BPR/BPR Syariah, seluruh responden juga menekankan peranan penting TI bagi operasional bank.
Dalam jawaban terbukanya, responden bahkan menyebutkan sejumlah aplikasi perbankan berbasis perangkat lunak yang sistematikanya hampir setara dengan yang dimiliki dari standar sebuah perbankan nasional.
Dalam jawaban terbukanya, aplikasi TI digunakan untuk akuntasi dan pelaporan (88,4%), core banking system (67,4%), manajemen informasi nasabah (39,5%), data warehouse (23,3%), web site bank (20,9%), pengelolaan kantor cabang (18,6%), dst.
Persoalannya kemudian, di tengah upaya ini, masih ada ganjalan dalam mengorbitkan teknologi ekonomi kerakyatan ini. Pertama, pengadaan TI di perbankan mikro masih belum seutuhnya dianggap investasi (invest).
Sebagai hal yang klise di Indonesia, alih-alih invest, namun lebih banyak dianggap sebagai beban biaya (cost). Mayoritas pola pikir ini yang membuat sistem akhirnya tak berkembang optimal.
Simak data CGAP Microfinance Technologi Survey pada 2008 lalu yang menyebutkan 60% dari institusi perbankan mikro merasa pembiayaan investasi TI sebagai sebuah kendala utama.
Terkait hal itu, Sharing Vision berkeinginan belajar langsung dari ahlinya, Grameen Bank, dalam helatan Microfinance Business & Information Technology di Royal Plaza, Singapura, pada 18-19 Juni ini.
Kedua, hingga saat ini, belum ada regulasi spesifik dari Bank Indonesa yang mengatur pemanfaatan TI bagi BPR/BPRS. Hal ini membuat proses standarisasi dan pengembangan belum terpayungi panduan aturan yang terarah.
Hal ini membuat belum jelasnya produk/layanan berbasis TI apa saja yang dapat diberikan BPR/BPRS serta belum jelasnya jenis laporan ke Bank Indonesia terkait produk/layanan berbasis TI di BPR/BPRS.
Karenanya, ketentuan manajemen resiko TI bagi bank perkreditan rakyat sendiri belum ada. Adakah situasi ini yang membuat tingkat kesadaran jadi kurang? Ingat, menurut www.techoeconomy.com, 90% BPR tidak terlalu mementingkan aspek keamanan TI.
Maka, jikalah dua inti persoalan ini bisa segera dituntaskan, maka BPR di negeri ini kiranya bisa bermanfaat sedahsyat KIVA dan Grameen Bank. Dan, tak ada lagi jargon basi ekonomi kerakyatan. Yang ada hanya konsep riil teknologi ekonomi kerakyatan.
No comments:
Post a Comment